Sabtu, 25 Februari 2012

(NASKAH TEATER “LUDAH UNTUK TUHAN”) karya: Farid Latif




Panggung gelap dan hening sesaat, di atas panggung hanya ada beberapa kursi dan meja dari kayu yang tertata rapi layaknya formasi kursi dan meja yang ada di ruang tamu di tambah satu kursi santai menghadap penonton…! Dari sisi kiri panggung masuk sosok pria memegang selembar kertas ( Farok ) diiringi lampu sorot. Dengan wajah gusar penuh sesak, seperti orang yang menahan ribuan tumpukan dalam dadanya. Orang itu berjalan perlahan menuju tengah panggung yang masih gelap, sebab cahaya hanya ada pada lampu sorot yang kini menampakkan tubuhnya. Dengan gerakan perlahan pria itu menggerakan tangannya ke atas hingga tangan yang menggenggam kertas tersebut sejajar matanya. Seperti posisi orang membaca puisi, Pra itu mulai membuka suara.
           
Farok :     demi ribuan mayat yang terapung dalam genangan abu mesiu, demi orang-orang mati yang kini masih bernafas. Seperti langit yang hitam menghujam bumi dengan hujan. INI LUDAH UNTUKMU TUHAN… beberapa bait puisi ini adalah penggalan dari puisi yang ia tulis dalam jejaring social facebooknya terus ia baca berulang kali,, pikirannya penuh dengan kata-kata makian dan umpatan yang ia rasa sebentar lagi akan beralamat padanya. Sejak puisi itu dijadikan sebagai wacana dalam sebuah pertemuan di sebuah stasiun televisi swasta yang membahas tentang peran jejaring social terutama facebook dalam kehidupan masyarakat. Ribuan statement beserta respon negative terus berkembang merambah ribuan rakyat di seluruh negri tanpa terkecuali, bahkan di desanya ia mulai menerima beberapa perlakuan tidak baik, dari mulai dimarjinalkan hingga di jadikan sebagai sasaran empuk fitnah. Hingga puncaknya pada siang kemarin, ketika Pak RT beserta perangkatnya tumpah ruah membanjiri ruang tengah rumahnya yang sempit. “hari ini kau harus angkat kaki dari desa ini” kata Pak RT yang kemudian dibumbui dengan berbagai macam ocehan pedas perangkat-perangkatnya.  Dalam lamunannya yang hening tiba-tiba dari luar panggung muncul suara-suara bersahutan meneriakan kata-kata umpatan juga panggilan agar membawa dia ke sidang balai desa atau bahkan dirajam di alun-alun desa.
Dari luar:  bakar, bunuh, kebalai desa saja,,, murtad, orang sinting, gila…  kata-kata itu terus bergantian.  Dalam kegentingan itu si pria yang sendirian di panggung tetap tak bergeming, bahkan wajah gusarnya tadi berubah drastis,wajahnya perlahan berubah cerah dengan mimic 40 % mendekati senyum,, perlahan ia melangkah menuju kursi santai kemudian duduk, lalu mengelurakan rokok dan di hisapnya. Sementara di luar panggung.
Di luar:     bakar, bunuh, kafir, rajam, orang sinting…..  semakin riuh,, smakin panas, semakin genting.. pria ini tahu seberapa besar bahaya yang akan mendekapnya kini, namun ia masih tak bergeming dalam kenikmatan asap rokok yang mengepul. Dan tiba-tiba. Suara pintu di buka paksa, mungkin dengan tendangan… dan daria arah sisi kanan panggung masuk puluhan pemuda bertubuh tegap, ada yang menenteng parang juga pacul serta berbagai macam benda yang mampu membunuhnya, atau merusak dan mengoyakkan kulit kasarnya.. salah satu pemuda angkat bicara, sebelum masa mengamuk.
Pemuda 1: kamu yang namanya Farok haaa…???  Semua pemuda diam,
Farok       : ya.. saya, ada apa..? seperti tidak tahu apa-apa.. masih dengan kursi santai yang bergoyang maju mundur.
                 Pemuda yang lain merangsak maju, namun pemuda yang tadi angkat bicara menghalangi. Sepertinya dia yang paling dihormati disitu..
Pemuda 1: kamu yang punya status mau ludah tuhan di facebook khan..?
Farok   : ya saya kenapa..?? masih dengan bahasa yang santai, tapi tiba-tiba.
            Buk, buk,, prak,prak…. Satu tendangan menerpa tanpa disadari oleh Farok. ia meluncur menuju dasar panggung dengan kursi santainya yang hancur.. ia berdiri seluruh pemuda yang ada di atas panggung merangsak lagi.. namun di cegah oleh pemuda yang paling awal bicara..
Pemuda 1 :  berhenti, kita hanya disuruh membawanya ke balai desa untuk dimintai pertanggung jawaban atas kekurangajarannya..
Pemuda yang lain         :  ayo arak dia menuju balai desa,, beberapa pemuda mengerumuninya, lampu panggung gonjang-ganjing, sesaat kemudian kerumunan pemuda beranjak, tampak Farok dalam keadaan terikat kemudian diarak dalam keadaan terikat jadi satu dengan kursi… kerumunan berjalan menuju pintu keluar sebelah kiri… lampu gelap, panggung hening,, namun suara arakan terus bergema…. Hingga arakkan muncul lagi dari bagian lain pintu panggung.. lampu nyala, panggung sebentar terang sebentar gelap… 
Dari kanan panggung.. bakar, bunuh, gantung,,,,,,, kali ini beberapa orang mulai melempar Farok dengan berbagai macam benda. Arakaan akhirnya berhenti di tengah panggung dengan posisi pemuda yang di arak menyamping penonton membelakangi tali gantungan yang telah berada disitu sejak arakan mulai masuk, Farok kini berhadapan dengan  pengarak… dari arah kiri muncul seseorang berpakaian rapi di iringi 2 orang pengawal, dan beberapa dayang. Melihat itu semua pengarak diam.. dengan mata terus mengikuti arah jalan beberapa orang yang baru datang.. seseorang yang baru datang berperan sebagai kepala desa.

Kepala Desa: berjalan dengan penuh wibawa kemudian berhenti persis di tengah panggung antara pemuda yang di ikat dengan kursi, dan para arakkan.. nama..???
Farok :             Farok.
Kepala Desa :  lengkap..! agak meninggikan suaranya..
                        Farok yang sedari tadi menunduk peNuh takdjim menengadahkan pandangannya. Dengan wajah yang bopeng namun masih ada gurat senyum yang Nampak. Ia menjawab..
Farok :             apalah artinya sebuah nama jika setelah ini nama itu akan tak berfungsi lagi…
                        Mendengar jawaban Farok yang begitu berani itu, sontak para arakan geram.! Berbagai macam benda pun melayang kembali diiringi riuh suara ribut.. Kepala Desa yang tak menyadari akan menerima jawaban seperti itu melongo sesaat kemudian mengangkat kepalan tangannya, dan semua orang yang semula memerankan peran sebagai pengarak kembali diam.
Kepala Desa :  Farok,farok,farok… dengan senyum misteri, karena diam-diam penasaran dengan keberanian pemuda yang diarak tersebut.  sambil mengulang nama pemuda tersebut Kepala dESa mendekatinya… sambil menyentuh dagu kepala desa memalingkan wajah Farok ke kiri-dan kanan, lihatlah anak muda, wajahmu ini .. cckckcc (seperti suara cicak) kau tak berada diposisi berkomentar… mimiknya sontak berubah jadi senyum yang dibuat-buat.. jangan-jangan. Mengucap dengan sedikit dengusan! Kau juga tak mengakui kesalahanmu..! sekarang katakan. Benarkah kau yang menulis puisi ludah untuk Tuhan..??
Farok :            Ya… aku mengakuinya,, aku yang menulis..!
Kepala desa:   anak muda, apa kau sadar apa yang kau lakukan.
Farok               : saya sadar… mendengar jawaban yang lugas dari Farok. Sontak orang-orang yang mengaraknya geram, mereka pun riuh kembali, lemparan tak terelakan lagi, batu-batu melayang di atas panggung, kepala desa semakin cemas akan keputusan yang nantinya iya ambil. Para arakan sontak diam setelah kepala desa mendongakan wajahnya yang merah padam ke arah arakan.
Kepala desa : katakan kalau ini paksaan orang lain untuk menyusahkanmu anak muda, mungkin hukumanku akan ringan, aku tak ingin.. belum selesai bicara Farok sudah memotongnya dengan kata lugas.
Farok               : yach… aku dipaksa.! Mendengar itu wajah kepala desa berubah cerah,, tapi Farok melanjutkan ucapannya..  aku dipaksa oleh hatiku untuk menorehkan kata-kata itu…
Kepala Desa    : dengan senyum yang dibuat-buat iya berkata dalam pasrah.. Ooouuuwww.. jadi kau tidak menyangkalnya...! wajah kepala desa geram,, bawa dia ke tiang gantungan..  panggung gonjang ganjing… orang2 riuh. Panggung gelap, bercahaya, gelap. Bercahaya terus menerus bergantian. Sementara satu lampu sorot terus mengawasi gerak-gerik Farok. Hingga akhirnya ia berdiri dengan tali gantungan di lehernya, menunggu waktu mengucapkan kata selamat tinggal.. orang-orang kembali melemparkan beberapa benda menuju sekujur tubuhnya yang berdiri menahan rasa dalam waktu yang seakan berjalan lambat. Dalam kegaduhan itu. Kepala desa angkat bicara.! Saudara-saudara panggung dan isinya hening hari ini ingatlah.! Demi nama Tuhan yang mengukir lekuk di antara hidung dan mulut kita, penghinaan atasnya sangatlah berdosa, dan penghinanya…  dalam keheningan dan dalam bisunya ruang akibat satu titah yang ingin disampaikan oleh kepala desa itu tiba-tiba Farok angkat bicara, menyela ucapan sang kepala desa..
Farok               : lisensia poitika, aku bertanya Tuhan macam apa yang kita sembah Pak….  ( panggung lebih hening dari saat hening yang terjadi sebelum-sebelumnya ) tapi Farok sedikit pun tidak menghiraukannya ia terus melanjutkan perkataanya.. lisensia poitka, aku bertanya Tuhan macam apa yang menyuruh kita menembus hutan-hutan, melukainya hingga separuh gunung kelihatan botak, Lalu ribuan percikan air mengaum deras menggusur semua peradaban.! Tuhan macam apa yang menjanjikan kesenangan bagi orang-orang yang menciptakan kerisauan pada umatnya. Tuhan macam apa yang melahirkan aku dalam buta lalu memberikan aku mata saat orang-orang yang memberikan cintanya demi kelahiranku telah tiada,, Tuhan yang memvonis mereka dengan Titah Jihad yang  samar….???? Tuhan yang mana.???  Tuhan macam apa..??? Dalam kata-kata yang disyairkan dengan suara sayu bercampur perih itu,,, Algojo telah melambaikan pedangnya pada tali yang tersimpu menuju pengait leher sang pemuda,,, dan tanpa sadar…. Sreerreeeetttt…… waktu telah memvonis Farok dengan kata mati…..  semua diam, semua sepi,,, seluruh isi panggung tersadar ketika masa telah lebih dulu berlari menuju satu kata akhir….
Kepala desa    : kita telah salah menikam sembilu pada uluh hati seorang pemuda yang penuh dengan perasaan kasih, yang kaya akan nurani untuk menyayangi….  Dengan perlahan kepala desa berjalan menuju gantungan, meraih secarik kertas yang tertulis satu puisi… LUDAH UNTUK TUHAN… para arakkan yang tadinya geram kepada sang pemuda lemah hatinya, mereka pun tersadar mereka , belum menanyakan secara mendalam tentang puisi yang ia buat… mereka tanpa sadar menggotong mayat si pemuda lalu berjalan. Dan kini bukan lagi batu yang melayang menyentuh tubuh si pemuda, tapi bunga, bunga yang berhamburan bersama rasa penyesalan mendalam.  Dalam arakan yang hening saat lampu panggung masih memberi silau,, dari luar panggung puisi LUDAH UNTUK TUHAN bergema..

demi ribuan mayat yang terapung dalam genangan abu mesiu,
demi orang-orang mati yang kini masih bernafas.
Seperti langit yang hitam menghujam bumi dengan hujan.
 INI LUDAH UNTUKMU TUHAN
Tuhan yang tumbuh dari seseorang  yang tak tahu seperti apa Tuhan
Tuhan yang lahir dari rahim manusia yang tak mengerti
Arti kata T
Arti kata U
Arti kata H
Arti kata A
Arti kata N
Tuhan yang kini jadi pujian orang yang dibenci oleh Tuhan.
Ini ludah untukmu Tuhan..!
adakah benar Tuhan mengesahkan tindakan yang dilarang oleh Tuhan
Tuhan macam apa.?
sungguh, aku melihat Tuhan tersenyum penuh kuasa kepada tuhan-tuhan 
lewat ayat-ayatnya,,, aku membaca sorot tajam kuasanya menikam dalam lemahnya para tuhan-tuhan.
Puisi pun berakhir di sertai lampu panggung yang padam,, saat lampu kembali menyala, semua orang yang berperan dalam pementasan ini keluar dan memberi salam hangat atas tepukan riuh para penonton.
puisi memiliki ketidakterbatasan dan keamatbebasan dalam pemilihan kata dan bentuk puisi yang disebut Lisensia Puitika.

Tidak ada komentar:

filter: alpha(opacity=100); -moz-opacity: 1.0; opacity: 0.6; -khtml-opacity: 0.0; - See more at: http://langkah2membuatblog.blogspot.com/2012/12/cara-membuat-background-blog-sendiri.html#sthash.1OO2GH7H.dpuf