MEKANISME
LOMBA
1. Puisi
pilihan
Peserta
memilih satu puisi pilihan yang ditentukan panitia. Puisi pilihan peserta
dibaca pada hari pertama tanggal 12 februari 2014. Lima belas pembaca terbaik pada lomba hari
pertama akan mengikuti final lomba baca puisi dihari ke dua.
2. Puisi
wajib
15 peserta terbaik akan membaca satu puisi
wajib yang telah ditentukan panitia pada hari ke dua, tanggal 13 februari 2014
untuk memenangkan lomba.
3. Waktu
Lomba
Lomba
baca puisi berlangsung dua hari, tanggal 12 – 13 februari 2014. Hari pertama, peserta akan dipilih hingga 15 orang terbaik
untuk kemudian mengikuti lomba di hari ke dua pada tanggal 13 februari 2014. Registrasi
lomba dari jam 08.00-09.00 Wit. lomba dimulai pada jam 09.00 Wit.
4. Kriteria
Lomba
1. Penampilan.
kesesuaian pemilihan kostum dengan isi puisi
2. Intonasi
kesesuaian
tinggi rendah nada suara, jeda, tanda
baca dengan isi puisi
3. Artikulasi
Pelafalan
kata
4. Mimik
Kesesuaian
Ekspresi wajah dengan isi puisi.
5. Gestur
ketenangan,
penguasaan diri di atas panggung serta tindakan
dengan isi puisi.
5. Syarat
–syarat peserta
1. Peserta
wajib hadir sesuai waktu yang ditentukan
2. Peserta
membawa sendiri kostum atau peralatan yang akan dipakai
3. peserta
wajib mengikuti aturan panitia yang ditentukan saat lomba dimulai
6. hak
peserta
1. peserta
diberikan nomor
peserta pada saat registrasi
2. peserta
akan diberikan hadiah bagi pemenang. Juara 1 berupa piala, piagam dan bonus
sebesar Rp. 1.000.000.00, juara 2. Piala, piagam dan bonus sebesar Rp.
750.000.00, juara 3 berupa piala, piagam dan bonus sebesar Rp. 500.000.00.
juara 4 – 10 akan diberikan piagam.
Nb.
·
Panitia tidak menanggung konsumsi
peserta.
·
Lomba baca puisi tidak menggunakan
pengeras suara
PUISI WAJIB
PELARIAN TERAKHIR
(karya dominggus willem syaranamual)
Baru
saja terang membenam hari
Membayang
lagi mega merah asap kebakaran
Membawa
makluk lari berlepas diri
Pilih!
Mati atau hidup
Disini
masih ada orang kuat lari
Berlomba
dengan maut
Sedang
aku berharap dengan laut
Aku
turun ke laut
Tapi
bukan anak laut
Aku
mau tamatkan ini lembaran
Dalam
kelam hari
Biar
dengan pedoman
Pada
hanya sebuah bintang
Yang
lagi bercahaya
Orang
berlomba
Aku
berlomba
Aku
membuat satu pelarian terakhir
KEPADA PATTIMURA
(D.
Zawawi Imron 1967)
Kala
tiang gantungan erat menjerat
Gagang
lehermu, senyum cantik kemerdekaan
Menyingsing
dari bibirmu
O,
hembusan napasmu, tak ada arti
Letusan
ngeri gunung berapi
Angkatan
demi angkatan boleh bersilih
Tapi
parangmu
Dan
tiang gantunganmu
Tak
terlupakan
Dahagamu
dihargai para ahli waris
Yang
mengenal nilai kesopanan
Kesopanan
yang sepintas pantas mengentaskan perang
Kau
lihat sendiri, Pattimura!
Sekitar
tahun empat lima dan enam lima
Anak-anakmu
menyusulmu
Tapi
musuhmu jatuh tersungkur
Kini
Tinggal
hatimu yang gemerlapan
Dalam
bahasa lampu neon di kota-kota
Dan
tunggu! Nanti kan sampai juga ke desa-desa
Biarlah
nanti
Pada
tiap dinding rumah para pemanjat siwalan
Di
ujung timur pulau Madura
Dipasang
gambarmu yang memegang parang
Saat
ini mereka belum mengenalmu
Tapi
senyummu
Sudah
kulihat bermekaran pada bibir-bibir mereka
Senyuman
tanah air yang begitu indah
PUISI PILIHAN
Karya
: “Chairil Anwar”
CERITA BUAT DIEN TAMAELA
Beta
pattiradjawane
Yang
dijaga datuk-datuk
Cuma
satu.
Beta
Pattiradjawane
Titisan
laut
Berdarah
laut.
Beta
Pattiradjawane
Ketika
lahir dibawakan Datu dayung sampan.
Beta
Pattiradjawane, menjaga hutan pala.
Beta
api di pantai. Siapa mendekat
Tiga
kali menyebut beta punya nama.
Dalam
sunyi malam ganggang menari menurut beta punya btifa,
Pohon
pala, badan perawan jadi hidup sampai pagi tiba.
Mari
menari!
mari
beria!
mari
berlupa!
Awas
jangan bikin beta marah
Beta
bikin pala mati, gadis kaku beta kirim datu-datu!
Beta
ada di malam, ada di siang
Irama
ganggang dan api membakar pulau...
Beta
Pattiradjawane
Yang
dijaga Datu-Datu
Cuma
satu
Pattimura ! [Yos Sudarso, tahun 1959]
Jika kau tanya apa jasaku,
akan aku jawab tidak ada.
Jika kau tanya apa baktiku,
akan aku jawab tidak ada.
Aku hanya melaksanakan kewajiban,
tidak lebih tidak kurang.
Bahkan bendera Viktory yang kukibarkan
bukan pula bendera pahlawan,
tetapi hanya bendera kewajiban
yang akan tetap kunaikkan.
Terima kasih Pattimura, terima kasih para djanto.
Pattimura, kita akan bertemu lagi di laut biru
di bawah bendera kewajiban.
Surabaya, 1959
Elegi Musim Timur ( Farid Latif )
Sekali
lagi kita bicara
Setelah
sebelumnya kau lebih memilih lautan
Katamu
disana ada Tuhan.
Sekali
lagi kita bicara
Setelah
kekecewaan membuat kita tak lagi bisa mengucapkan selamat tinggal
Katamu
akulah yang lebih dulu diam.
Kali
ini dengan malam dan aroma lautan
Sekali
lagi kita bicara
Dan
kau berkata tentang siluet disenjanya Saparua
Lalu
tentang arus dan gadis-gadis di Tanjung Yanain
Juga
legenda-legenda yang karam disepanjang pesisir pulau Seram.
Tapi
tidak dengan delapan tahun yang lalu
Ketika
terakhir kali kita bicara
Tentang
mengapa Tuhan membuatmu putus sekolah.
Karya : MARIANA LEWIER
v
MENABUR PASIR
Pada setiap jejak embun yang
menetes
Dari daun-daun sagu di rawa-rawa
Pada deretan pepohonan cengkeh
Di bukit-bukit keletihan …
Pada bentang pantai
Yang menimbun jejak pesiarah
Aku menabur pasir
Di sepanjang garis penantian
Dan menyaksikan jatuhnya
Bagai ukiran butir kisah berabad
lalu
Penggalan tuturan para tetua
negeri
Yang menyimpan haru di dada
Sejak semula segala menanti
Dan rentangan waktu membaluti
Langit yang meraih mentari
Dibalik paparisa tua milik para datuk
Yang menyulam sejarah Negeri
Seribu Pulau
Dengan dendang kapata dan untaian
lania
Menghidupi soa demi soa berlaras
sumpah persaudaraan
Namun, kini terkikis ombak
Mengurai kelembutan pasir putih
nurani
Para lelaki bak pengintai di
musim peralihan ini
Generasi yang tak lagi mengusung
parang salawaku
Lereng-lereng bukit pala yang
telah ditinggalkan kepada penjaga hutan
Beradu nasib menancap rasio
Di atas perahu berlayarkan ambisi
Dan para wanita telah berubah
menjadi pemetik hari yang berlari melepaskan damba
Yang terkubur di semenanjung
sunyi
Karena tak ada lagi perahu nelayan
Berpelita di malam hari
Namun, aku tetap menabur pasir
Mengisi kekosongan pantai-pantai
yang setia menunggu
Kembalinya
para pemilik negeri
“Mariana
Lewier”
v
SANG PENYELAM MUTIARA
Kau terjunkan dirimu di lautan
berkarang stelah meneggak sebotol tuak koli
Buih ombak peradu cerah mentari
mengantar ayun kepak raga
Diantar sorot harap si jantung
hati menakar butiran beras yang tak bersisa lagi
San penyelam pun membelah luas
kedalaman Laut Banda
Mungkin sudah begitu akrab
rerumput dan bunga karang menggodamu
Sebelum kau sibak siap celah
kerang penyimpan butir mutiara
Atau ragam satwa laut sekedar
menyentuh tubuhmu yang hamper telanjang
Dalam tatapan mata yang memerah
basah namun awas
Jika akhirnya nasib mempertemukan
binary matamu dan sinar kilau dibalik katup
Waktu pun terasa begitu singkat
dalam anjangsana tak berpesan
Genggam erat membunga senyum di
bibir
Membayang dekap hangat bidadari
mengganti dingin yang tinggal di dasar hati
Karya : ROYMON LEMOSOL
v
JANJI
MUNGARE-JUJARO
Lahir dari rahim nusa ina
Menetek di putting alifuru
Kami tumbuh menjadi mungare
jujari kabaresi
Minum dari pancoran keringat
Tubuh kami makin kekar
Jiwa lebih tegar
Sekolah tak harap beasiswa
Belajar ditemani pelita
Kami mampu meraih cita
Kerja penuh dedikasi
Diangkat jadi pegawai tinggi
Kami berjanji: tidak akan korupsi
v
MENGEJAR
MIMPI PENOKOK SAGU
Bertahun-tahun ku arungi luasnya
laut
Yang begitu gigih telah kau rajut
Dengan sulur-sulur keringat
Sebelum datang senja merenggutnya
dari lubuk pagi
Musim dari musim telah aku jalani
Mengejar mimpi yang menampik sisa
tidurmu
Pedoman pada kiblat yang kau
sematkan dalam benak
“jangan pernah kembali sebelum
mimpi kau genggam
Tanah ini pijakanmu. Telaga ini
juga seberanganmu
Tapi parang dan nani sekali-kali
bukan genggamanmu”
Lama sudah aku di seberang
Yang ku kejar elah tergenggam
Namun ada yang masih terpendam
Dalamnya telaga belum aku selam
Karya: REVELINO
BERRY
v
CUMA
SATU MUSIM
Satu masa perlahan
terkikis lalu habis
Usai senyum
terkembang manis seranum buah-buah pala
Satu masa perlahan
hilang seperti kamu-kamu menipis
Hilang termakan
sengat menyala
Musim itu seperti
bunga-bunga cengkeh pada dahan ranting tinggi
Tak tersentuh,
menjadi tua, lalu polong, lalu gugur
Lalu siapa hendak
mencari sambil menari
Jika berakhir di akar kayu dan rumput padahal
hari sudah kabur
O, nona-nona manise
Mari tulis kisah,
melukis manis-manis
Mari menari sebelum
lenso jatuh dari mata cele
Sebelum mempelai
pria datang melingkari jari manis
Lalu rambut
memutih, tinggal cerita waktu mama masih nona
Ole la sio
nyong-nyong kabaresi e
Mari cakalele
sebelum gantung parang dan salawaku
Pahat dengan gagah
di dinding-dinding batu
Di karang-karang,
batang-batang kayu, besi dan tiang
Satu kisah untuk
anak cucu saat bendera sudah turun
Satu masa perlahan
pergi
Lalu senyap seperti
malam dan cala ibi
Orang muda e, mari
menari, mari cakalele
Musim ini panjang
tapi cuma satu kali
Karya : RUDI FOFID
v
NOSSA
SENHORA DA ANUNCIADA
Demi nama Bapa
Dan Putera
Dan Roh Kudus
Amin
Malaikat itu datang
Dia membawa berita
Anunciada
Anunciada
Maka di tanah
Amboina
Ku taruh batu-batu
karang
Kita menyusun bata
merah
Menjadi satu kota
laha
Ave maria, bunda
Amboina
Ave maria,
berlayarlah bersama
Menjadi bintang
laut saban malam
Menempuh lautan
gelombang
Maka di segala
kenang-kenangan
Kujejerkan
pohon-pohon flamboyan
Pada musimnya dia
selalu berbunga
Semerah matahari
saga di tanjung alang
Ave maria, bila
kelak asap butakan mata
Kamu-kamu dan angin
sibu-sibu kan jadi topan
Perciki tanah ini
jadi sesuci altar dan sajadah
Acang dan obet
sujud di atas tanah yang sama
Demi nama Bapa
Dan Putera
Dan Roh Kudus
Amin