Tragedi Supersemar
Tahun
1965 menjadi titik nadir yang menggoreskan sejarah kelam dalam
kehidupan Soekarno sekaligus bangsa Indonesia. Di mana ketika itu,
pertentangan dan perebutan kekuasaan yang tidak lagi mengenal kata
‘kemanusiaan dan keadilan’. Naluri politik bergerak penuh ambisi,
mendulang kepentingannya sendiri, bertengger dalam tampuk kekuatan untuk
bersama-sama mendepak dan mengganyang Soekarno.
Peralihan
kekuasaan tahun 1965 hingga lima tahun kemudian, telah melahirkan
peristiwa mengenaskan, yakni terbunuhnya setengah juta orang dalam
suasana hiruk pikuk politik awal Orde Baru. Soekarno sempat menyerukan,
bahwa sedang terjadi pembunuhan massal di Jawa Timur dan menginginkan
pembantaian tersebut segera dihentikan. Namun ironis, seruannya tidak
digubris, karena pihak keamanan telah disabotase oleh kendali kuasa yang
terselubung.
Intrik
politik mulai menggejala ketika komposisi kabinet dalam penerapan
sistem demokrasi parlementer yang digagas Soekarno mengalami jatuh
bangun. Bagi oknum-oknum yang telah lama menjadi musuh dalam selimut,
kondisi semacam itu memberikan angin segar untuk segera memanfaatkan
kedudukan serta mencari cela politik. Hal ini membuat Soekarno mulai
berpikir untuk membuat semacam perisai politik bagi kelangsungan
pemerintahannya.
Salah
satu pihak yang memberikan dorongan kuat untuk merekonstruksi tata
pemerintahan adalah Partai Komunis Indonesia (PKI), yang saat itu
diketuai oleh Aidit. Dari sinilah terjalinnya kesamaan visi antara Aidit
yang mengusung faham komunis dengan konsep yang telah mengendap dalam
pemikiran Soekarno yakni NASAKOM (Nasionalisme, Agama, dan Komunis).
Soekarno
memang bukan seorang komunis, tetapi ide-ide kerakyatan yang terkandung
dalam pemikiran komunis dipahami sebagai salah satu komponen yang mampu
merubah kondisi bangsa Indonesia yang saat itu memang tidak stabil.
Pada gilirannya, keberadaan PKI yang diback-up Soekarno tumbuh pesat dan
menjadi partai terkuat.
Sementara
itu, pihak militer juga tidak kalah strategi untuk bersaing pengaruh
dalam kancah politik. Pemberlakuan sistem Dwi Fungsi ABRI membuat tangan
besi militer mampu bergerak dalam sektor politik. Kenyataan PKI yang
berkembang pesat menimbulkan kekhawatiran di kalangan militer, utamanya
Angkatan Darat (AD). Karena bila pemilu digelar, PKI akan menang mutlak
dan otomatis yang akan menjadi presiden juga dari orang PKI. Demi
menghadang laju kekuasaan PKI, pihak AD dengan menggandeng Partai
Nasional Indonesia (PNI) berhasil mengusulkan dan menjadikan Soekarno
sebagai Presiden Seumur Hidup, melalui hal ini berarti pemilu
ditiadakan.
Akan
tetapi, implikasi dari model politik semacam itu ternyata memicu
konflik yang melahirkan beragam tindakan anarkis. Dengan sama-sama
menggunakan Soekarno sebagai ‘bamper’, kemelut antara AD dengan PKI
semakin menegangkan sehingga rangkaian pemberontakan semakin meluas dan
pada puncaknya, tragedi besar pun terjadi dalam Gerakan 30 September
1965 (G 30 S). Semua daya upaya yang dikerahkan Soekarno untuk
menajamkan kekuatan demokrasi terpimpin akhirnya tergerus oleh beragam
intrik politik dan kepentingan golongan. Akibatnya, Soekarno terjerembam
dalam kubangan tuduhan dan hinaan.
Sementara
itu, kondisi masyarakat yang sangat tidak stabil dengan mudah dapat
dimanfaatkan. Demonstrasi dan pembunuhan massal merebak sepanjang
Desember 1965 hingga awal Maret 1966. Rakyat yang sudah terprovokasi
makin membabi buta. Para pemuda dan Mahasiswa menuntut tanggung jawab
pemerintah atas kerusuhan yang makin meluas.
Maka
dengan pertimbangan situasi negara yang semakin gawat, Soekarno
akhirnya menandatangani sebuah surat yang dikirim oleh Soeharto melalui 3
utusannya yakni Andi M. Yusuf, Basuki Rachmat, dan Amir Machmoed. Surat
yang kemudian dikenal sebagai Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar)
itulah yang menjadi tombak legitimasi untuk menggulingkan Soekarno.
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
SURAT PERINTAH
SURAT PERINTAH
I. Mengingat:
1.1. Tingkatan Revolusi sekarang ini, serta keadaan politik baik nasional maupun Internasional
1.2. Perintah Harian Panglima Tertinggi Angkatan Bersendjata/Presiden/Panglima Besar Revolusi pada tanggal 8 Maret 1966
II. Menimbang:
2.1. Perlu adanja ketenangan dan kestabilan Pemerintahan dan djalannja Revolusi.
2.2. Perlu
adanja djaminan keutuhan Pemimpin Besar Revolusi, ABRI dan Rakjat untuk
memelihara kepemimpinan dan kewibawaan Presiden/Panglima
Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi serta segala adjaran-adjarannja
III. Memutuskan/Memerintahkan:
Kepada: LETNAN DJENDERAL SOEHARTO, MENTERI PANGLIMA ANGKATAN DARAT
Untuk: Atas nama Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi:
1.
Mengambil segala tindakan jang dianggap perlu, untuk terdjaminnja
keamanan dan ketenangan serta kestabilan djalannja Pemerintahan dan
djalannja Revolusi, serta mendjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan
Pimpinan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimin Besar revolusi/mandataris
M.P.R.S. demi untuk keutuhan Bangsa dan Negara Republik Indonesia, dan
melaksanakan dengan pasti segala adjaran Pemimpin Besar Revolusi.
2. Mengadakan koordinasi pelaksanaan perintah dengan Panglima-Panglima Angkatan-Angkatan lain dengan sebaik-baiknja.
3. Supaya melaporkan segala sesuatu jang bersangkuta-paut dalam tugas dan tanggung-djawabnja seperti tersebut diatas.
IV. Selesai.
Djakarta, 11 Maret 1966
PRESIDEN/PANGLIMA TERTINGGI/PEMIMPIN BESAR REVOLUSI/MANDATARIS M.P.R.S.
SOEKARNO
Dalam
situasi konflik tak kunjung reda, MPRS menggelar Sidang Istimewa. Dalam
sidang tersebut Supersemar makin diteguhkan, pidato pertanggungjawaban
Soekarno yang tertuang dalam Nawaksara berikut pelengkapnya ditolak oleh
MPRS. Praktis pada saat itu Soekarno kehilangan jabatannya sebagai
orang nomor satu di Indonesia. Peralihan kekuasaan jatuh kepada pemegang
Supersemar yaitu Soeharto.
Pasca
itu, konsekuensi berat masih harus diterima Soekarno karena tuduhan
atas keterlibatan peristiwa G 30 S. Meski tanpa bukti, rezim Orde Baru
memindahkan Soekarno dari Jakarta ke Istana Bogor sebagai tahanan
politik. Dalam pengawasan yang ketat, kondisi kesehatan Soekarno mulai
menurun dan semakin rentan terhadap penyakit. Soekarno memutuskan untuk
pindah ke Batu Tulis karena muncul surat keputusan dari pemerintah untuk
segera mengosongkan Istana Bogor.
Selang
beberapa bulan, Soekarno diberikan izin oleh pemerintah untuk tinggal
di Wisma Yaso Jakarta. Keadaan Soekarno tetap tidak berbeda, bahkan
interogasi makin sering dilakukan oleh Kopkamtib. Akibatnya, kondisi
psikis dan fisik Soekarno kian memburuk. Pertengahan tahun 1970 Soekarno
mengalami gangguan kesadaran, metabolisme tubuhnya rusak, sehingga
diputuskan untuk dibawa ke RSPAD (Rumah Sakit Angkatan Darat Gatot
Subroto). Hanya selang beberapa hari, keadaan penyakit yang teramat
parah membuat Soekarno tidak dapat lagi bertahan, pada 21 Juni 1970
Soekarno menghembuskan nafas terakhir.
Surat
Perintah Sebelas Maret ini adalah versi yang dikeluarkan dari Markas
Besar Angkatan Darat (AD) yang juga tercatat dalam buku-buku sejarah.
Sebagian kalangan sejarawan Indonesia mengatakan bahwa terdapat berbagai versi Supersemar sehingga masih ditelusuri naskah supersemar yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno di Istana Bogor.
· Menurut
penuturan salah satu dari ketiga perwira tinggi AD yang akhirnya
menerima surat itu, ketika mereka membaca kembali surat itu dalam
perjalanan kembali ke Jakarta, salah seorang perwira tinggi yang kemudian membacanya berkomentar "Lho ini khan perpindahan kekuasaan".
Tidak jelas kemudian naskah asli Supersemar karena beberapa tahun
kemudian naskah asli surat ini dinyatakan hilang dan tidak jelas
hilangnya surat ini oleh siapa dan dimana karena pelaku sejarah
peristiwa "lahirnya Supersemar" ini sudah meninggal dunia.
Belakangan, keluarga M. Jusuf mengatakan bahwa naskah Supersemar itu ada
pada dokumen pribadi M. Jusuf yang disimpan dalam sebuah bank.
· Menurut kesaksian salah satu pengawal kepresidenan di Istana Bogor, Letnan Satu (lettu) Sukardjo Wilardjito, ketika pengakuannya ditulis di berbagai media massa setelah Reformasi 1998 yang juga menandakan berakhirnya Orde Baru dan pemerintahan Presiden Soeharto. Dia menyatakan bahwa perwira tinggi yang hadir ke Istana Bogor pada malam hari tanggal 11 Maret 1966 pukul 01.00 dinihari waktu setempat bukan tiga perwira melainkan empat orang perwira yakni ikutnya Brigadir jendral (Brigjen) M. Panggabean.
Bahkan pada saat peristiwa Supersemar Brigjen M. Jusuf membawa map
berlogo Markas Besar AD berwarna merah jambu serta Brigjen M. Pangabean
dan Brigjen Basuki Rahmat menodongkan pistol kearah Presiden Soekarno
dan memaksa agar Presiden Soekarno menandatangani surat itu yang
menurutnya itulah Surat Perintah Sebelas Maret yang tidak jelas
apa isinya. Lettu Sukardjo yang saat itu bertugas mengawal presiden,
juga membalas menodongkan pistol ke arah para jenderal namun Presiden
Soekarno memerintahkan Soekardjo untuk menurunkan pistolnya dan
menyarungkannya. Menurutnya, Presiden kemudian menandatangani surat itu,
dan setelah menandatangani, Presiden Soekarno berpesan kalau situasi
sudah pulih, mandat itu harus segera dikembalikan. Pertemuan bubar dan
ketika keempat perwira tinggi itu kembali ke Jakarta. Presiden Soekarno
mengatakan kepada Soekardjo bahwa ia harus keluar dari istana. “Saya harus keluar dari istana, dan kamu harus hati-hati,”
ujarnya menirukan pesan Presiden Soekarno. Tidak lama kemudian (sekitar
berselang 30 menit) Istana Bogor sudah diduduki pasukan dari RPKAD dan Kostrad,
Lettu Sukardjo dan rekan-rekan pengawalnya dilucuti kemudian ditangkap
dan ditahan di sebuah Rumah Tahanan Militer dan diberhentikan dari dinas
militer. Beberapa kalangan meragukan kesaksian Soekardjo Wilardjito
itu, bahkan salah satu pelaku sejarah supersemar itu, Jendral (Purn) M.
Jusuf, serta Jendral (purn) M Panggabean membantah peristiwa itu.
· Menurut Kesaksian A.M. Hanafi dalam bukunya "A.M Hanafi Menggugat Kudeta Soeharto", seorang mantan duta besar Indonesia di Kuba yang dipecat secara tidak konstitusional oleh Soeharto.
Dia membantah kesaksian Letnan Satu Sukardjo Wilardjito yang mengatakan
bahwa adanya kehadiran Jendral M. Panggabean ke Istana Bogor bersama
tiga jendral lainnya (Amirmachmud, M. Jusuf dan Basuki Rahmat) pada
tanggal 11 Maret 1966 dinihari yang menodongkan senjata terhadap
Presiden Soekarno. Menurutnya, pada saat itu, Presiden Soekarno menginap
di Istana Merdeka, Jakarta
untuk keperluan sidang kabinet pada pagi harinya. Demikian pula semua
menteri-menteri atau sebagian besar dari menteri sudah menginap diistana
untuk menghindari kalau datang baru besoknya, demonstrasi-demonstrasi
yang sudah berjubel di Jakarta. A.M Hanafi Sendiri hadir pada sidang itu
bersama Wakil Perdana Menteri (Waperdam) Chaerul Saleh. Menurut tulisannya dalam bukunya tersebut, ketiga jendral itu tadi mereka inilah yang pergi ke Istana Bogor,
menemui Presiden Soekarno yang berangkat kesana terlebih dahulu. Dan
menurutnya mereka bertolak dari istana yang sebelumnya, dari istana
merdeka Amir Machmud menelepon kepada Komisaris Besar Soemirat, pengawal
pribadi Presiden Soekarno di Bogor, minta ijin untuk datang ke Bogor.
Dan semua itu ada saksinya-saksinya. Ketiga jendral ini rupanya sudah
membawa satu teks, yang disebut sekarang Supersemar. Di sanalah Bung
Karno, tetapi tidak ditodong, sebab mereka datang baik-baik. Tetapi di
luar istana sudah di kelilingi demonstrasi-demonstrasi dan tank-tank
ada di luar jalanan istana. Mengingat situasi yang sedemikian rupa,
rupanya Bung Karno menandatangani surat itu. Jadi A.M Hanafi menyatakan,
sepengetahuan dia, sebab dia tidak hadir di Bogor tetapi berada di
Istana Merdeka bersama dengan menteri-menteri lain. Jadi yangdatang ke
Istana Bogor tidak ada Jendral Panggabean. Bapak Panggabean, yang pada
waktu itu menjabat sebagai Menhankam, tidak hadir.
· Tentang
pengetik Supersemar. Siapa sebenarnya yang mengetik surat tersebut,
masih tidak jelas. Ada beberapa orang yang mengaku mengetik surat itu,
antara lain Letkol (Purn) TNI-AD Ali Ebram, saat itu sebagai staf Asisten I Intelijen Resimen Tjakrabirawa.
· Kesaksian yang disampaikan kepada sejarawan asing, Ben Anderson,
oleh seorang tentara yang pernah bertugas di Istana Bogor. Tentara
tersebut mengemukakan bahwa Supersemar diketik di atas surat yang berkop
Markas besar Angkatan Darat, bukan di atas kertas berkop kepresidenan.
Inilah yang menurut Ben menjadi alasan mengapa Supersemar hilang atau
sengaja dihilangkan.
Yang
mana yang asli, tidak jelas hingga kini. Yang tahu pasti, adalah para
pelaku sejarah, yang sayangnya sekarang sudah bersemayam di alam sana.
Mereka adalah Brigadir jendral (Brigjen) M. Panggabean,
Brigjen M. Jusuf, Brigjen Basuki Rahmat dan Mayor Jendral Soeharto.
Sementara keterlibatan Brigadir Jenderal M. Panggabean ini masih
diperdebatkan.
Dengan
kesimpangsiuran Supersemar itu, kalangan sejarawan dan hukum Indonesia
mengatakan bahwa peristiwa G-30-S/PKI dan Supersemar adalah salah satu
dari sekian sejarah Indonesia yang masih gelap.