Dengan
mulut kita dapat berbicara. Berbicara adalah merupakan suatu aktivitas
kehidupan manusia normal yang sangat penting, karena dengan berbicara kita
dapat berkomunikasi antara sesama manusia, menyatakan pendapat, menyampaikan
maksud dan pesan, mengungkapkan perasaan dalam segala kondisi emosional dan
lain sebagainya.
Kalau diamati dalam kehidupan sehari-hari, banyak didapati orang yang
berbicara. Namun tidak semua orang didalam berbicara itu memiliki kemampuan
yang baik didalam menyampaikan isi pesannya kepada orang lain sehingga dapat
dimengerti sesuai dengan keinginannya, dengan kata lain, tidak semua orang
memiliki kemampuan yang baik didalam menyelaraskan atau menyesuaikan dengan
detail yang tepat antara apa yang ada dalam pikiran atau perasaannya dengan apa
yang diucapkannya sehingga orang lain yang mendengarkannya dapat memiliki
pengertian dan pemahaman yang pas dengan keinginan si pembicara.
Untuk penyampaian hal-hal yang sederhana mungkin bukanlah suatu masalah, akan
tetapi untuk menyampaikan suatu ide/gagasan, pendapat, penjelasan terhadap
suatu permasalahan, atau menjabarkan suatu tema sentral, biasanya memiliki
tingkat kesulitan yang cukup tinggi bagi seorang pembicara yang belum terbiasa,
bahkan tidak semua orang mampu melakukannya dengan baik. Dibutuhkan suatu
keterampilan atau kecakapan dengan proses latihan yang secukupnya untuk dapat
tampil dengan baik menjadi seorang pembicara yang handal.
Keterampilan berbicara pada dasarnya harus dimiliki oleh semua orang yang
didalam kegiatannya membutuhkan komunikasi, baik yang sifatnya satu arah maupun
yang timbal balik ataupun keduanya. Seseorang yang memiliki ketermapilan
berbicara yang baik, akan memiliki kemudahan didalam pergaulan, baik di rumah,
di kantor, maupun di tempat lain. Dengan keterampilannya segala pesan yang
disampaikannya akan mudah dicerna, sehingga komunikasi dapat berjalan lancar
dengan siapa saja.
Disadari bahwa keterampilan berbicara seseorang, sangat dipengaruhi oleh dua
faktor penunjang utama yaitu internal dan eksternal. Faktor internal adalah
segala sesuatu potensi yang ada di dalam diri orang tersebut, baik fisik maupun
non fisik (psykhis), faktor pisik adalah menyangkut dengan kesempurnaan
organ-organ tubuh yang digunakan didalam berbicara misalnya, pita suara, lidah,
gigi, dan bibir, sedangkan faktor non fisik diantaranya adalah: kepribadian
(kharisma), karakter, temparamen, bakat (talenta), cara berfikir dan tingkat
intelegensia. Sedangkan faktor eksternal misalnya tingkat pendidikan,
kebiasaan, dan lingkungan pergaulan. Namun demikian, kemampuan atau
keterampilan berbicara tidaklah secara otomatis dapat diperoleh atau dimiliki
oleh seseorang, walaupun ia sudah memiliki faktor penunjang utama baik internal
maupun eksternal yang baik. Kemampuan atau keterampilan berbicara yang baik dapat
dimiliki dengan jalan megasah dan mengolah serta melatih seluruh potensi yang
ada.
Pada dasarnya seorang pembicara yang handal adalah seseorang yang ketika ia
berbicara, baik dalam komuniasi formal (presentasi, ceramah, dll.) maupun
informal (pergaulan) memiliki daya tarik yang rhetoris (mempesona) dengan isi
pembicaraan yang efektif (sistematis, benar/tepat, singkat dan jelas dengan
bahasa yang tepat) sehingga orang yang mendengarkannya dapat mengerti dengan
jelas dan tergugah perasaannya.
Singkatnya, semua orang apapun profesinya, bila didalam kegiatannya menggunakan
komunikasi (pembicaraan) sebagai sarananya, maka ia perlu memiliki keterampilan
berbicara, terlebih lagi sebagai seorang tenaga pendidik, penyiar, atupun
profesi lainnya.
RHETORIKA
Salah satu dari sekian banyak jenis keterampilan yang penting untuk dimiliki
oleh setiap orang adalah keterampilan berbicara atau seni berbicara. Hal ini
menjadi penting bahkan sangat urgen, karena tak dapat dipungkiri bahwa dalam
kehidupan ini sebagai manusia normal kita tidak mungkin lari dari kenyataan
bahwa kita dalam berinteraksi dengan sesama manusia harus menggunakan suatu
bentuk atau cara yang disebut komunikasi, khususnya bahasa verbal atau lisan.
Nuansa ini memberikan aksentuasi kepada kemampuan manusia di dalam menggunakan
lambang-lambang kata, simbol-simbol maupun isyarat lainnya dalam proses
komunikasinya sehingga tujuan komunikasi tercapai. Di dalam kenyataannya bahwa
proses komunikasi yang dilakukan oleh manusia, baik secara pribadi maupun
secara kelompok tidak jarang ditemukan adanya kegagalan di dalam mencapai
tujuan komunikasi. Hal ini disebabakan oleh adanya kekurangmampuan komunikator
dalam mengaplikasikan secara lebih baik lambang-lambang kata, simbol-simbol
maupun isyarat lainnya dalam proses komunikasi, atau mungkin juga disebabkan
oleh faktor lainnya yang tidak/kurang menguntungkan bagi kondisi di saat
berlangsungnya proses komunikasi tersebut.
Dari fenomena tersebut di atas maka seorang komunikator dalam profesi apapun
yang menggunakan bahasa lisan sebagai media penyampaiannya, dipandang perlu
membekali diri dengan suatu keterampilan atau seni di dalam berbicara atau
dalam istilahnya “Rhetorika”.
a. Pengertian/Defenisi Rhetorika
Rhetorika dapat diartikan secara “etimologi” dan “terminologi”. Adapun hal
tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Secara etimologi (berdasarkan asal kata), rhetorika berasal dari :
- Bahasa Latin (Yunani kuno) “Rhetorica” yang artinya seni berbicara.
- Bahasa Inggris “Rhetoric” yang berarti kepandaian berpidato atau berbicara.
2. Secara terminologi (pengertian secara istilah) adalah :
Didalam bahasa Inggris rhetorika dikenal dengan istilah “The art of speaking”
yang artinya seni di dalam berbicara atau bercakap. Sehingga secara sederhana
dapat dikemukakan bahwa rhetorika adalah suatu bidang ilmu yang mempelajari
atau mempersoalkan tentang bagaimana caranya berbicara yang mempunyai daya
tarik yang mempesona, sehingga orang yang mendengarkannya dapat mengerti dan
tergugah perasaannya.
Sebagai bahan komparasi (pembanding) maka berikut ini ada beberapa defenisi
yang dikemukakan oleh beberapa pakar di bidang rhetorika yang diantaranya
adalah :
1. Richard E. Young cs, mengatakan bahwa rhetorika adalah ilmu yang mengajarkan
bagaimana kita menggarap masalah wicara-tutur kata secara heiristik,
epistomologi untuk membina saling pengertiandan kerjasama.
2. Socrates mengemukakan bahwa rhetorika mempersoalkan tentang bagaimana
mencari kebenaran dengan dialog sebagai tekniknya. Karena dengan dialog
kebenaran dapat timbul dengan sendirinya.
3. Plato mengungkapkan bawha rhetorika adalah kemampuan didalam mengaplikasikan
bahasa lisan yang sempurna dan merupakan jalan bagi seseorang untuk memperoleh
pengetahuan yang luas dan sempurna.
4. Drs. Ton Kertapati mengartikan rhetorika sebagai kemampuan seseorang untuk
menyatakan pikiran dan perasaannya dengan menggunakan lambang-lambang bahasa.
Dari beberapa defenisi tersebut di atas, apapun defenisi dan siapapun yang
mengemukakannya semua mengacu dan memberi penekanan kepada kemampuan menggunakan
bahasa lisan (berbicara) yang baik dengan memberikan sentuhan gaya (seni)
didalam penyampaiannya dengan tujuan untuk memikat/menggugah hati pendengarnya
dan mengerti dan memahami pesan yang disampaikannya.
Kemampuan untuk menjadi pembicara yang handal tidaklah diperoleh secara
otomatis atau hanya mengandalkan bakat yang besar dan pembawaan (kharismatik)
semata, tetapi juga dapat dipelajari dan atau melalui latihan yang banyak (Dr.
Dale Carnigie).
b. Latar Belakang Sejarah
Istilah rethorika muncul bermula di Yunani sekitar abad ke-5 sebelum masehi.
Pada saat itu adalah merupakan masa kejayaan Yunani sebagai pusat kebudayaan
barat dan para filsufnya saling berlomba untuk mencari apa yang mereka anggap
sebagai kebenaran. Pengaruh kebudayaan Yunani ini menyebar sampai ke dunia
timur seperti Mesir, India, Persia, bahkan Indonesia dan lain-lain.
Rhetorika mulai berkembang pada jaman Socrates, Plato, dan Aristoteles.
Selanjutnya rhetorika kemudian berkembang menjadi suatu ilmu pengetahuan, dan
yang dianggap sebagai guru pertama dalam ilmu rhetorika adalah Georgias (480 –
370 SM).
c. Jenis-Jenis Rhetorika
Dari segi kepentingannya atau tujuan yang ingin dicapai, rhetorika dapat dibagi
dalam dua bahagian, yaitu :
1. Rhetorika Persuasif
Rhetorika persuasif adalah rhetorika yang bertujuan mempengaruhi orang dengan
tidak begitu memperhatikan/mempertimbangkan nilai-nilai kebenaran dan
moralitas. Rhetorika yang seperti ini dapat kita jumpai dimana-mana, contohnya
adalah rhetorika yang digunakan oleh sebagian besar penjual obat kaki lima
dalam menawarkan dagangannya, dll.
2. Rhetorika Dialektika
Rhetorika dialektika yang sering juga disebut dengan rhetorika psikologi,
adalah rhetorika yang muncul sebagai kebalikan dari rhetorika persuasif, dimana
rhetorika ini sangat memperhatikan nilai-nilai kebenaran, kebajikan, moralitas
dan sifatnya dapat menenangkan jiwa manusia. Tujuan utama rhetorika ini
mengarah kepada pembinaan spiritual. Rhetorika yang seperti ini umumnya
digunakan didalam ceramah-ceramah agama.
d. Tujuan Rhetorika
Tujuan rhetorika adalah berusaha untuk membentuk opini publik atau menggiring
pendapat umum ke arah pendapat pembicara, atau minimal pendengar (audience)
tidak membantah terhadap apa yang dikemukakan oleh si pembicara (komunikator).
e. Langgam-Langgam Dalam Rhetorika
Dalam rhetorika langgam diartikan sebagai cara, ragam, atau gaya suatu bahasa
(pembicaraan). Langgam-langgam rhetorika dapat dibagi atas :
1. Langgam Agitasi
Langgam agitasi adalah langgam yang kebanyakan dipakai dalam rhetorika persuasif.
Langgam ini biasanya digunakan untuk membakar semangat, misalnya oleh
demonstran.
2. Langgam Teater
Langgam teater adalah langgam yang digunakan oleh para pemain teater dalam
berdialog.
3. Langgam Agama
Langgam agama adalah langam yang biasa digunakan oleh para muballigh atau para
pendeta dalam penyampaian ceramahnya.
f. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keberhasilan Rhetorika
Keberhasilan suatu rhetorika didalam berbicara sangat ditentukan oleh beberapa
faktor, antara lain:
1. Situasi
Situasi yang dimaksudkan adalah hal-hal yang menyangkut keadaan atau kondisi
saat pembicaraan/ceramah sedang berlangsung. Hal-hal yang perlu diperhatikan
adalah:
a. Tingkat pengetahuan pendengar. Yaitu menyangkut latar belakang level
pengetahuan dari pendengar (audience).
b. Formal atau informal. Hal ini menyangkut apakah kita berbicara dalam suatu
situasi yang formal (forum resmi) atau dalam situasi biasa atau kekeluargaan
(informal)
c. Sedih atau gembira. Berbicara di depan orang yang berada dalam situasi sedih
tentunya sangat berbeda dibandingkan dengan ketika kita tampil berbicara di
depan orang yang sedang dalam keadaan gembira. Untuk itu seorang pembicara
harus mengetahui betul situasi dan kondisi pendengarnya.
2. Ruang
Hal ini adalah tentang tempat dimana kita sedang berbicara, misalnya di dalam
ruangan gedung ataukah di lapangan.
3. Waktu
Yang dimaksudkan dengan waktu disini adalah, disamping waktu yang sebenarnya
yaitu apakah pagi, siang, sore atau malam, juga tentang isi materi yang akan
dibicarakan, apakah hal tersebut masih aktual ataukah sudah usang atau basi.
4. Tema
Sebuah tema sangat penting artinya dalam suatu pembicaraan, sehingga didalam
pembicaraan seorang pembicara ia dapat fokus atau terarah. Sangat disarankan
seorang pembicara hanya menggunakan satu tema pembicaraan sehing didalam
pembicaraannya ia tidak ngawur atau mengambang yang dapat mengakibatkan isi
pembicaraan susah dipahami oleh pendengar. Namun jika terpaksa harus lebih dari
satu, maka selesaikanlah satu tema pembicaraan kemudian pindah ke tema yang
lainnya.
5. Isi atau Materi
Isi pembicaraan hendaknya sesuai dengan tema yang telah dipersiapkan dengan
mantap sebelumnya dan menarik minat pendengar. Daya tarik suatu materi juga
akan sangat menentukan keberhasilan suatu pembicaraan. Adapun yang dapat menjadi
pemicu rasa ketertarikan pendengar diantaranya adalah :
Ø Up to date, masalah yang dibicarakan adalah masalah yang
sedang hangat-hangatnya di dalam masyarakat.
Ø Merupakan suatu yang menyangkut kepentingan pendengar.
Ø Masalah yang mengandung pertentangan publik, benar-salah,
baik-buruk.
Ø Sesuai dengan kemampuan logika pendengar, dll.
6. Teknik Penyajian
Teknik yang dimaksudkan disini adalah cara-cara yang digunakan didalam
berbicara, meliputi :
a. Kemampuan menggunakan bahasa lisan dengan baik. Dalam hal ini seorang
pembicara hendaknya memiliki kemampuan tata bahasa yang baik, artikulasi yang
jelas dan tidak cadel, intonasi yang menarik (tidak monoton), aksen yang tepat,
dan tidak terlalu banyak menggunakan istilah yang tidak perlu.
b. Ekspresi (air muka) yang menarik, misalnya: tidak cemberut, tidak pucat,
tidak merah, dan sebagainya. Ekspresi dalam berbicara sangat penting untuk
memikat minat dengar atau rasa ingin tahu dari pendengar.
c. Stressing (redance), yaitu kemampuan seorang pembicara untuk memberikan
penekanan pada masalah-masalah inti atau penting didalam pembicaraannya,
misalnya dengan pengulangan-pengulangan yang seperlunya, atau dengan
penekanan-penekanan tertentu dalam nada pembicaraan.
d. Kemampuan memberikan refreshing (penyegaran) dengan menyelipkan intermezzo,
yaitu dengan menyelingi pembicaraan dengan hal-hal lain yang berhubungan yang
mengandung kelucuan, baik itu pengalaman sendiri atau sebuah anekdot, dengan
tidak mengurangi nilai pembicaraan. Hal ini dimaksudkan agar pendengar tidak
terlalu stress yang bisa menimbulkan kejenuhan atau kebosanan dalam mengikuti
pembicaraan kita.
e. Kepribadian atau personality. Dalam hal ini yang dimaksudkan adalah
disamping daya pesona atau kharismatik seseorang, juga meliputi nilai-nilai
pribadi seorang pembicara, diantaranya: jujur, cerdik, berani, bijaksana,
berpandangan baik, percaya diri, tegas, tahu diri, tenang dan tenggang rasa.
BERBICARA EFEKTIF
Tampil berbicara dengan hanya mengandalkan teknik rhetorika, nampaknya tidaklah
cukup untuk menjadi seorang pembicara yang handal. Karena bagimanapun hebatnya
daya pesona yang ditimbulkan oleh seorang pembicara dalam penampilannya tanpa
didukung oleh efektifitas pembicaraan yang dibawakannya, maka apa yang
disampaikannya itu akan berlalu begitu saja tanpa menimbulkan kesan yang
mendalam, atau dengan kata lain efek pesan yang disampaikannya itu hanya
bertahan sampai selesainya pembicaraan, begitu pembahasan selesai maka selesai
pulalah segalanya.
Untuk itulah maka disamping seorang pembicara perlu memiliki rhetorika yang
baik, ia juga perlu menguasai apa yang disebut berbicara yang efektif.
Berbicara efektif merupakan sarana penyampaian ide kepada orang atau khalayak
secara lisan dengan cara yang mudah dicerna dan dimengerti oleh pendengarnya.
Hal itu dapat terjadi jika pembicaraannya sistematis, benar, tepat dan tidak
berbelit-belit dengan penggunaan bahasa yang baik dan benar.
1. Dasar-Dasar Berbicara Efektif
Pada dasarnya berbicara efektif pada kesempatan apapun terdiri dari tiga unsur
pokok, yaitu pembukaan, isi atau inti permasalahan, dan penutup.
a. Pembukaan
Pembukaan adalah bagian awal dari setiap pembicaraan. Pembukaan termasuk bagian
penting karena turut menentukan sukses tidaknya suatu pembicaraan. Bila
pembukaan sudah berhasil menggugah minat dengar orang, maka kesuksesan
pembicaraan sudah 50 % ada ditangan si pembicara. Sebaliknya, bila pembukaannya
saja sudah membosankan, maka kegagalan penyampaian pesan dapat dikatakan sudah
90%, karena yakinlah bahwa pembicara akan diabaikan atau tidak akan
diperhatikan oleh pendengar.
Pembukaan seyogyanya dilakukan paling lama lima menit. Dan diharapkan waktu
lima menit tersebut dapat memberikan kesan yang menyenangkan dan menarik minat
bagi para pendengar sehinga para pendengar bersedia menyimak pembicaraan
selanjutnya dengan seksama.
Pada acara formal, misalnya pidato, isi “Pembukaan” biasanya terdiri dari salam
kepada orang/pejabat atau tokoh setempat yang hadir, ucapan terima kasih atas
kesempatan yang diberikan, dan ulasan sekilas tentang masalah yang akan
dibicarakan.
Pembukaan sebaiknya memuat common interest dari pendengar. Misalnya berbicara
tentang hal-hal aktual yang sedang terjadi yang menjadi bahan pembicaraan yang
hangat di masyarakat, walaupun mungkin tidak ada kaitannya dengan yang akan dibicarakan.
Bisa juga disisipkan beberapa lelucon/anekdot segar yang dapat menggugah
perhatian dan simpati orang. Alangkah baiknya apabila lelucon atau “penyegar”
tersebut secara tidak langsung dapat disambungkan dengan inti masalah.
Bila kata pembukaan berhasil, perhatian pendengar secara halus dapat ditarik ke
inti permasalahan. Pembukaan pada setiap kesempatan pembicaraan sangat berbeda,
tergantung pada misi, sifat, lawan bicara, dan suasana pembicaraan.
1) Misi Pembicaraan
Pembukaan dipengaruhi oleh misi pembicaraan. Yang dimaksudkan dengan misi
pembicaraan di sini adalah tujuan pertemuan atau pembicaraan dan tugas yang
dibebankan kepada si pembicara untuk disampaikan kepada hadirin
2) Sifat Pembicaraan
Pembukaan dipengaruhi oleh sifat pembicaraan, apakah serius, resmi, atau tidak
sama sekali. Pembukaan di depan forum resmi, misalnya pertemuan atau rapat
dinas yang dihadiri oleh pejabat kantor bersangkutan dan para pejabat
pemerintah, sifatnya sangat formal yang biasanya akan mengikuti tatanan yang
sudah baku dalam acara resmi. Dalam hal ini, pembukaan harus benar-benar
mencerminkan keseriusan dari acaranya. “Pembukaan” pembicaraan atau pidato
dapat disisipi “penyegaran” dengan sedikit humor, dan bisa dilakukan dengan
santai tapi dengan tidak menghilangkan keseriusan acara.
3) Lawan Bicara
Lawan bicara turut menentukan “pembukaan” pembicaraan. Lawan bicara atau
pendengar bisa dikategorikan dalam dua bahagian, yaitu kelompok atau
perseorangan. Pembicaraan dengan perseorangan (seseorang), pembukaannya biasanya
lebih diwarnai dengan gaya yang sifatnya kekeluargaan, apalagi kalau keduanya
sudah akrab. Namun apabila pembicara dengan lawan bicara belum akrab benar maka
pembukaan disampaikan seperlunya hingga dirasa suasana sudah “hangat”, kemudian
kita dapat masuk ke masalah inti yang akan disampaikan.
Berbeda jika pembicaraan dilakukan dihadapan banyak orang maka harus
diperhatikan siapa siapa yang menjadi lawan bicara, pembukaannya harus
ditujukan kepada semua hadirin.
Disamping itu, beberapa hal yang harus diperhatikan adalah: usia, status
sosial, bahasa dari lawan bicara, karena ini berkaitan dengan adat kesopanan
yang juga akan sangat menentukan minat dengar dari lawan bicara.
4) Suasana
Suasana juga ikut menentukan bagaimana pembukaan suatu pembicaraan. Baik isi
maupun pola tutur bahasa bahkan nada bicara yang digunakan adalah sangat erat
hubungannya dengan suasana yang berlangsung atau yang dihadapi oleh pembicara.
Karenanya pembicara harus memahami betul suasana yang dihadapinya untuk memulai
atau membuka suatu pembicaraan, apakah gembira, sedih, santai atau suasana yang
lainnya. Pembukaan pembicaraan atau sambutan dan sejenisnya, pada suatu acara
pemakaman jangan sampai disamakan seperti pada pembukaan acara ulang tahun,
atau sebaliknya.
b. Isi/Inti Pembicaraan
Inti pembicaraan merupakan bagian paling pokok dalam pembicaraan. Bagian ini
merupakan tujuan dari pembicaraan. Dalam bagian inilah rincian permasalahan
akan dibahas.
Dalam acara-acara tertentu, misalnya diskusi, seminar, sarasehan, biasanya
penyampaian inti permasalahan tidaklah perlu terlalu mendetail, melainkan hanya
pada butir-butir pokoknya sajalah yang disampaikan. Penyampaian yang mendetail
biasanya disampaikan dalam forum tanya jawab.
Isi pembicaraan harus dapat disampaikan secara lengkap dengan sistematis dan
tidak berkepanjangan atau bertele-tele. Pembicara harus konsisten dengan inti
permasalahan. Pembicaraan tidak boleh merambat ke hal-hal di luar permasalahan
yang dibicarakan, terkecuali jika hal itu diambil sekedar sebagai referensi
atau sebagai loncatan berfikir (itupun harus dibatasi dan dijaga jangan sampai
berkembang lebih jauh). Untuk lebih memfokuskan perhatian pendengar dapat
dibantu dengan presentasi yang menggunakan alat audio, visual atau audio
visual.
Sesekali sisipkan anekdot atau guyonan penyegar suasana. Dan selanjutnya
libatkan hadirin dalam permasalahan yang disampaikan, misalnya dengan
melontarkan pertanyaan yang berhubungan dengan inti permasalahan. Cara seperti
ini hampir selalu dapat mengikat perhatian pendengar sepanjang pembicaraan.
Perlu diperhatikan bahwa, sebaiknya lama pembicaraan tidak lebih dari satu jam
per sesi. Pembahasan inti permasalahan dapat dilanjutkan lagi dalam forum tanya
jawab. Setelah semua inti materi disampaikan, tiba saatnya untuk menutup
pembicaraan.
c. Penutup
Pada akhir pembicaraan hendaknya diusahakan adanya kata-kata penutup yang
dibuat sesingkat mungkin, paling lama tiga sampai lima menit. Dalam penutup
dapat disampaikan kesimpulan atau rangkuman penting sebagai hasil pembicaraan
itu.
Penutup biasanya diakhiri dengan ucapan terima kasih kepada hadirin atas
perhatian yang diberikan dan kepada penyelenggara apabila berbicara pada suatu
acara resmi. Dan terakhir sekali adalah ucapkan salam sebagai penutup
pembicaraan.
DAFTAR PUSTAKA
1. HUDORO SUMETO : Cara Berbicara dan Presentasi dengan Audio Visual, Penerbit
PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2004.
2. ARMAN AGUNG : Laporan Program Pembelajaran Pendidikan Kader (Materi
Rethorika) di Kampus IKIP Gunungsari Baru Ujung Pandang, Ujung Pandang1989.