Senin, 08 September 2014

MAPALA KEWANG UKIM OPEN RECRUITMENT

Tetap konsisten dengan masalah alam, Mapala Kewang Universitas Kristen Maluku berencana menambah anggotanya dengan mengadakan pembukaan Pendidikan dan Pelatihan Dasar IX ( PPD). Bagi mahasiswa Universtas Kristen Maluku yang tertarik dengan kegiatan alam bebas dan menyukai tantangan seperti Penelusuran Goa ( Caving ), panjat tebing ( Rock climbing ), jelajah gunung hutan ( Mountainering ) dapat mendaftarkan diri dengan mengambil formulir di sekretariat Mapala Kewang Ukim samping kantor Fakultas Teknik, pendaftaran dibuka dari tanggal 8 september hingga 27 September 2014.
Bukan saja  menjadikan anggotanya sebagai individu yang sadar akan alam dan isinya. Mapala kewang ukim menerima anggotanya sebagai keluarga tanpa terikat oleh batasan formalitas organisasi semata "kita menerima anggota sebagai keluarga, layaknya adik dan kakak mari kita saling mengisi dan berbuat demi perbaikakan alam. saya mengharapkan agar teman-teman mahasiswa Ukim dapat mengambil kesempatan ini sebagai langkah awal perubahan diri unuk menjadi pribadi yang sadar akan pentingnya menjaga alam dan isinya dalam suasana persaudaraan" ujar Ketua Mapala Kewang Ukim. Ricky Kwalomine dalam kesempatannya saat ditemui disekertariat. Pendidikan dan Pelatihan Dasar dilakukan dalam 3 tahap, calon anggota yang telah memenuhi persyaratan administrasi akan mengikuti tahap tes awal yakni tes fisik, tes pengetahuan umum dan wawancara. Tahap ke 2 calon anggota diwajibkan mengikuti materi kelas yang dari 3 hingga tanggal 6 oktober kemudian dilanjutkan dengan tahap ketiga yaitu aplikasi lapangan. peserta akan melakukan pendakian dan mengaplikasikan materi kepecintaalaman selama 4 hari. pendidikan lapangan berlangsung dari tanggal 20 sampai 25 oktober. bagi pendaftar bisa menghubungi  085243250955 nomor kontak Yossi, ketua panitia pendidikan dan pelatihan dasar IX Mapala Kewang Ukim.

Senin, 01 September 2014

Banjir Puisi Tenggelamkan Senja di Unpatti

Bagi mereka kampus bukanlah tentang datang, kuliah dan pulang, bagi mereka kampus bukanlah tentang menulis, membaca dan mengerjakan tugas kuliah. mereka berfikir lebih dari itu, begitulah yang diperlihatkan beberapa mahasiswa Universitas Pattimura bersama komunitas Merah Saga, saat suara-suara mereka bersatu bersama emosi dalam sajak-sajak yang mereka bawakan. mereka seolah ingin menyampaikan kepada teman-temannya untuk memandang kampus sebagai tempat kuliah dan berkarya. seperti teruntai lewat sajak revolusi yang dibacakan Khalid Bin Walid Pelu (anggota merah saga). kampus seharusnya dihidupkan dengan kreatifitas-kreatifitas para mahasiswanya. Dari kreatifitas itu diharapkan beberapa inisiatif dari permasalahan masyarakat atau setidaknya suara-suara masyarakat yang tak bisa menyuarakannya disuarakan dan bisa jadi dapat dipecahkan. adanya kelompok-kelompok mahasiswa yang memanfaatkan pojok-pojok kampus sebagai tempat berdiskusi perlu dibudayakan dari situlah pemikiran-pemikiran kritis serta pola pikir insan cendekia terasah. seperti senja 28 Agustus 2014 kemarin. para mahasiswa Unpatti yang tak mau terbawa oleh pola pikir bahwa kuliah hanya datng kuliah dan pulang memeriahkan kampus Universitas Pattimura dengan pembacaan puisi-puisi revolusi, puisi sosial dan diperindah dengan puisi-puisi cinta serta pengabdian terhadap bangsa. senja itu, ketika sebagian mahasiswa ingin cepat mengakhiri kuliah dan pulang, suasana senja itu menjadi hening oleh Monolog Pidato karya Putu Fajar Arcana yang dibawakan dengan lihai oleh Irsal Rabidin monolog yang mengisahkan masa kelam Indonesia  ketika ribuan rakyatnya gugur karena dipaksa mengaku sebagai PKI. setelah itu berturut-turut   Achmad Munir Wael, Kamal A.K. Abdul Muit Pelu, Ahmad Alwan, Chalid Bin Walid Pelu mengajak para mahasiswa yang berkumpul dipelataran auditorium kampus Unpatti Poka larut dalam kondisi sosial masyarakat negerinya lewat puisi-puisi penyair Rendra, Zawawi Imron dan Sutardji Calzoem Bachri.disela-sela puisi penuh emosi ada sajak-sajak tentang cinta, dan pengorbanan kepada negeri oleh Tirta Triana, Farid Latif, M. Yusuf Sangadji , Wulandari Kaliky , Yanto Ode, Andi K. Sanusi. Kemudian senja yang terlanjur banjir kata-kata itu ditenggelamkan oleh Sajak Sebatang Lisong oleh Fahmi Ramli Holle. maka tenggelamlah senja 28 Agustus 2014 itu dengan iringan puisi-puisi sarat makna dari mulut pemuda-pemuda terbaik negeri hingga diterkam malam.



.

Selasa, 26 Agustus 2014

Merah Saga Open Recruitment

Sebagaimana lazimnya sebuah organisasi akan terus eksis tergantung pada proses kaderisasi. beberapa organisasi atau perkumpulan mengadakan pembukaan bagi kader-kader baru setiap semester  atau satu kali dalam setahun demi keberlangsungan organisasinya. begitu pula dengan komunitas Merah Saga, komunitas yang 3 tahun belakangan ini mewarnai dunia teater dan kesusatraan di Maluku dengan pementasan teater, program Merah Saga Road school  dan lomba baca puisi tingkat SMP se pulau Ambon akan membuka peluang bagi pemuda Maluku baik itu Mahasiswa mau pun pelajar untuk berkarya dalam dunia kesenian dan kesusastraan. Vietha Wakano selaku ketua Merah Saga dalam wawancaranya dengan admin ketika selesai mengadakan pembacaan puisi bersama anggota Merah Saga mengatakan "dengan pendekatan kekeluargan, Merah Saga mencoba menarik simpatik bagi setiap orang yang ingin bergabung, membangkitkan dunia teater maluku yang terkesan tak punya tempat dibandingkan provinsi-provinsi lain di Indonesia". Brosur dan selebaran Open Recruitment telah disebarkan, bagi para calon pendaftar dapat menghubungi nomor kontak yang terlampir pada brosur untuk mengambil formulir pendaftaran, rencananya pendaftaran akan ditutup pada 12 september mendatang sementara acara pembukaan dan pemberian matari akan berlangsung dari tanggal 15 september hingga selesai. kali ini Achmad Munir Wael ketua Panitia Merah Saga Open Recruitment beserta Tirta Triana sebagai Sekrertaris Panitia berjanji menyelenggarakan pembukaan anggota baru dengan metode yang tidak biasanya. "acara peengkaderan kali ini akan dikemas dengan menarik sehingga diharapkan dapat menghasilkan kader yang kreatif" ucap ketua dan sekretaris dengan serempak memamerkan kekompakannya.

Minggu, 24 Agustus 2014

"KOPI" WAKAL Simbol Kemandirian Dunia Teater Maluku

Dunia teater Maluku ditiga tahun belakangan ini tumbuh bagai jamur dimusim hujan, belum ada referensi tertulis tentang bagaimana kemunculan hingga menjadi begitu banyak masyarakat menyukai pementasan teater yang dianggap berat untuk ditonton oleh beberapa orang. yang pasti. kini dunia teater Maluku mulai membenahi diri dan berani unjuk gigi. dari berbagai sisi kita masih melihat begitu banyak kekurangan pada pementasan-pementasan teater di Maluku, mulai dari sarana yang tidak memadai, beberapa perlengkapan seperti ligthing, artistik yang masih kurang jika dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain memang masih di hadapi oleh komunitas dan sanggar-sanggar teater di Maluku. meski begitu, semangat dan kerja keras serta tekad untuk menciptakan karya terbaik dalam sebuah pementasan selalu ditunjukan oleh para penggiat teater Maluku. adalah Komunitas Pecinta Seni ( KOPI ) Wakal salah satunya. komunitas seni yang banyak berkonsentrasi pada dunia teater ini terbilang punya nama dalam pergaulan kelompok teater Maluku khusunya kota Ambon, komunitas yang digawangi oleh Almin Patta ( 21), Saefudien Nur Bastian S.Sos ( 25) dan Rieska Bastian Nawawi ( 22 ) ini mulai mendapat tempat pada berbagai pementasan bahkan mereka pun menjadi penyelenggara dalam beberapa pementasan. 
berdiri di awal tahun 2013 kopi Wakal mulai memeriahkan dunia teater Maluku. pelantikan komunitas ini di meriahkan dengan apik oleh pementasan teater dan pembacaan puisi oleh sastrawan maluku. meski harus terseok-seok dengan permasalahan dana dan propoerti yang minim, KOPI Wakal tetap konsisten mengadakan pementasan teater bagi masyarakat, jika hal ini terus berlangsung agaknya komunitas ini patut diberikan predikat sebagai simbol kemandirian Dunia Teater Maluku.

Bendera Setengah Tiang Di Langit Unpatti

 search googlePak Rengur begitulah beliau biasa disapa, kharisma beliau selalu memancar dimana saja beliau berada, dosen yang lekat dengan tatapan matanya yang tajam itu tutup usia pada jumat, 22 agustus kemarin. bagi beberapa mahasiswa Program studi Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan jumat kemarin adalah jumat pertama mahasiswa program studi bahasa dan sastra Indonesia Universitas Pattimura tanpa Drs Abdul Latif Rengur M.Pd. beliau merupakan dosen tertua program studi bahasa dengan banyak pengalaman, dosen yang lazim membawakan Bluss untuk Bonie milik penyair Rendra itu berpulang dalam usia 60 tahun lebih setelah mengabdi 30 tahun lebih di Universitas Pattimura. selain terkenal berwibawa dosen yang satu ini sangat disiplin dalam setiap pertemuan, bagi para mahasiswanya beliau adalah dosen yang tidak bisa menarik kata-kata yang telah ia ucapkan. meski begitu, bagi mahasiswa program studi ada banyak alasan untuk mengenang beliau pada beberapa kesempatan pertemuan. memang beberapa hari sebelum kepergiannya banyak mahasiswa yang hendak berurusan perkuliah dengan beliau menerima info tentang kondisi beliau yang kurang baik, kondisi beliau yang kurang baik tersebut telah berlangsung dalam 1 tahun belakangan. hal ini dapat dimaklumi oleh karena usia beliau yang terbilang sudah tidak muda lagi. Pada akhirnya semua yang hidup akan mati begitulah hukum alam membuat siklus kehidupan berputar. kali ini hukum tersebut diterima oleh Almarhum Dosen Mahasiswa bahasa Unpatti mungkin besok ada lagi dosen-dosen yang lain tapi segala kenangan dan kebaikan manusia akan abadi hingga selama-lamanya. semoga setiap doa yang terlahir dari kebaikan beliau menjadi teman sebaik-baik teman pada perjalanan beliau menemui Tuhan yang beliau Imani. selamat jalan Drs. A. L. Rengur Mp.d. mari meneruskan perjuangan beliau.


Kamis, 21 Agustus 2014

Wakili Provinsi Maluku, Ketua MERAH SAGA Berkantor di Palangkaraya

Vietha, ditengah
Vietha, ditengah.
Mengikuti jejak tiga anggotanya yang memastikan diri mewakili Provinsi Maluku diajang Pekan Seni Mahasiswa Nasional ke dua belas ( PEKSIMINAS XII ) di Palangkaraya Kalimantan Tengah, ketua Merah Saga periode 2013-2014 Vietha Wakanno akan berkantor sebentar di Palangkaraya hingga pekan seni berakhir. Jika ketiga anggotanya mengikuti Lomba Puisi dan Monolog Vietha mengambil bidang lomba yang berbeda yaitu Vokal Grup, memang Vietha dikalangan teman-temannya dikenal bersuara indah "maklumlah darah Maluku mengalir asli di tubuhnya "  timpal Eron Habibu ( AnggotaMerah Saga )  ketika diwawancarai pada rapat pembukaan anggota baru senin kemarin. Vietha Wakanno punya kriteria yang sempurna bila diikutsertakan, lanjutnya sambil sesekali menatap teman-teman seolah mencari pembenaran. Vietha dikalangan anggota merah saga selalu dipercaya untuk menyusun naskah musikalisasi bahkan ajang lomba musikalisasi puisi yang diikuti 12 Universitas negeri Indonesia di Makasar  oktober 2013 kawan-kawannya meraih juara 2 berkat naskah yang dia gubah. beberapa kesempatan pementasan musikalisasi puisi oleh Merah Saga Vietha menjadi bintangnya. putri Maluku yang satu ini memang berbakat dalam bidang tarik suara. siapa dulu, ketua kami.! kata Eron Habibu menutup wawancara singkat. (frk/115)


Hijabers Tulehu Teaterkan Air Mata Muslimah Palestina di Street Art 3

Adelia, kostum merah putih. berbaring, Mala. disela payung, Hana.kami punya pandangan sendiri.! barangkali begitulah yang ingin mereka katakan saat mata mereka menatap penonton yang membanjiri depan Tulehu Plaza. Bahkan cuaca malam itu ikut larut dalam dengung kesedihan yang mengalun lirih menemani adegan demi adegan teater berjudul Perempuan Palestina Dalam Dengung yang dibawakan penuh emosi oleh Mala, Tatu, Hana, Adelia, Nona, Mei, Muthia,  dan Yati semuanya siswa Madratsah Aliyah Negeri 2 Ambon. beberapa pasang mata tampak berkaca-kaca seolah mereka ikut mengarungi kesedihan perempuan Palestina yang tengah dirundung kepedihan Panjang oleh karena serangan membabi-buta tentara Israel. teater kemudian menjadi meriah ketika di tengah adegan masuk pemeran wanita gemayu yang diperankan Yanto Ode ( komunitas Merah Saga ) setelah itu adegan kembali menjadi lirih setelah Yanto keluar. adegan demi adegan teater yag dibawakan oleh anak-anak Hijabers adalah suara bernada air mata, mereka seakan tak ingin larut dalam kemeriahan pesta kemerdekaan disaat bangsa Palestina terpuruk sebab ingin benar-benar merdeka. bagi mereka bangsa Palestina berhak mendapatkan sedikit doa dan wajah sedih masyarakat Indonesia dihari kemerdekaannya oleh karena mereka tahu bahwa kemerdekaan Indonesia tidak lepas dari dukungan bangsa Palestina. setidaknya begitulah yang tertera dalam buku “Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar  Negeri” yang ditulis oleh Ketua Panitia Pusat Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia , M. Zein Hassan Lc. Buku ini diberi kata sambutan oleh Moh. Hatta (Proklamator & Wakil Presiden pertama RI), M. Natsir (mantan Perdana Menteri RI ), Adam Malik (Menteri Luar Negeri RI ketika buku ini diterbitkan) , dan Jenderal (Besar) A.H. Nasution. M. Zein Hassan Lc. Lt. sebagai pelaku sejarah, menyatakan dalam bukunya pada hal. 40, menjelaskan tentang peran serta, opini dan dukungan nyata Palestina terhadap kemerdekaan Indonesia, di saat negara-negara lain belum berani untuk memutuskan sikap.  Pementasan teater yang diperankan oleh komunitas Hijabers Tulehu ditutup dengan pembacaan puisi Kepada Janji Dan Rasa Terimakasih serta ratusan tepukan tangan penonton yang memadati acara Street art 3 yang diselenggarakan oleh Haturessy Creatif Kingdom besutan Akbar dan akbir Marasabessy bersama kawan-kawan pemuda negeri Tulehu.


puisi Cordova ( kepada janji dan rasa terima kasih)






Dan oleh sebab itu biarkanlah bangsa lain terpuruk saja

Tapi atas nama rasa terima kasih
Seharusnya segala yang ternukil dan jadi merisaukan hati
Semua bisa Berubah sedemikian niat serta kasih
Inilah berita dari tanah dimana orang-orangnya memiskinkan diri demi bangsamu Indonesia
Mereka dengan bangganya mengucap kata merdeka untukmu dipengasingan musuh
Para wanitanya menjahit daging anaknya untuk menempel dikulit sembari mengucapkan selamat merdeka padamu
Gadis-gadisnya menyulam bunga-bunga air mata dan resah risau calon janda
Lalu kemudian mengucap selamat padamu
Bayi-bayi perempuan yang siap mati muda dengan nakalnya memahat bokong-bokong gurun
Dan terukirlah kata merdeka untukmu
Inilah salam para wanita-wanita yang berhijab dengan air mata dan bubuk mesiu
Mereka berkata untukmu merdeka.

Trisula MERAH SAGA Siap Ramaikan PEKSIMINAS XII di Palangkaraya

Setelah melewati jalur seleksi yang cukup ketat. Akhirnya, tiga anggota Comunitas Teater Merah Saga kota Ambon, Wulandari Kaliky (lomba baca Puisi), Irsal Rabidin (lomba Monolog) dan Yanto Ode (Lomba baca puisi), berhasil memastikan diri mewakili Provinsi Maluku dalam ajang dua tahunan "Pekan Seni Mahasiswa Nasional ( PEKSIMINAS XII) di Palangkaraya". Pesta seni bergengsi yang diselenggarakan dua tahun sekali ini merupakan ajang yang paling ditunggu-tunggu bagi para mahasiswa yang bergelut di dunia seni dan kesusastraan, meski sempat terjadi hal yang tidak menyenangkan oleh karena protes dari salah satu peserta pada akhirnya proses seleksi yang dilakukan tetap berjalan hingga akhir. ditemui pada sela-sela latihan bersama dengan teman-teman komunitas Merah Saga lainnya, ke-tiga peserta tersebut nampak sangat bersemangat. "rasanya ingin segera terbang ke Palangkaraya untuk langsung mengikuti lomba. kami sudah tidak sabar lagi tapi mau bagaimana, lombanya masih tiga minggu lagi". Tutur Wulan dan Yanto dengan senyum malu-malu. Disaat yang sama Ical ( Irsal Rabidin ) masih agak was-was dengan persiapannya sebagai peserta Monolog, maklumlah. Ical yang mengikuti lomba Monolog terancam berangkat tanpa Tim yang sejak awal membantunya pada lomba seleksi yag diselenggarakan di kampus Universitas Pattimura. " tanpa Tim saya merasa kewalahan pada lomba di Palangkaraya nanti, disaat peserta latihan dengan baik saya masih harus mengurus properti kemudian berkonsentrasi pada naskah meski begitu saya akan berusaha sekuat tenaga untuk mengharumkan nama Provinsi Maluku dan Universitas Pattimura. Itu adalah harga mati bagi saya". begitulah penuturan Ical dengan wajah serius. PEKSIMINAS Palangkaraya bukan saja dinanti-nanti oleh mereka berTiga, kawan-kawan mereka di Komunitas Merah Saga tak kurang deg-degan juga menunggu mereka bertiga beraksi dan membawa sekarung cerita serta pengalaman yang akan dibagi. kata mereka yang seringkali mengganggu dengan jenakanya disesi wawancara.(frk/ 21 februari 2014)


Kamis, 05 Juni 2014

Naskah Monolog PIDATO Karya Putu Fajar Arcana





SEORANG LELAKI SETENGAH BAYA TIBA-TIBA TERJAGA DARI TIDURNYA. IA MENGUSAP MUKA, MENGUCEK, DAN MENGERJAP-NGERJAPKAN MATANYA. LALU MENOLEH SEKELILING DENGAN PANDANGAN HERAN. SESEKALI MEMPERBAIKI SISIRAN RAMBUTNYA. MATANYA LUCU KETIKA MENYADARI BEGITU BANYAK ORANG DI SEKELILINGNYA. KETIKA TERDENGAR TERIAKAN-TERIAKAN YANG MEMINTANYA SEGERA BICARA, PERLAHAN IA BERDIRI. TUBUHNYA TERHUYUNG BEBERAPA KALI, TAPI KEMUDIAN IA MULAI BISA MENGUASAI DIRI

Saudara-saudara, saya diundang kemari untuk berpidato. Sesuatu yang tak pernah saya bayangkan selama hidup saya. Sebab pidato bagi saya lebih merupakan sebuah kesaksian, ketimbang melontar-lontarkan pepesan kosong. Apalagi sekarang saya harus berpidato di hadapan Saudara-Saudara, orang-orang berpengetahuan luas, kaum intelektual yang sering nonggol dalam talk show di televisi. Saya hanya orang kecil, orang desa yang sama sekali tidak memiliki referensi tentang politik. Politik? Ssttt…

(MENUTUP BIBIR DENGAN TELUNJUK, LALU BERBISIK)


jangan keras-keras…dan tolong jangan dikabarkan kepada yang tidak hadir di sini, saya tak suka politikus. Mereka ini kaum mencla-mencle, tak ada logika yang lurus. Seperti besi ditempa, semakin dibakar semakin mudah dipeot-peotkan. Tak ada istilah sahabat atau seteru, semuanya adalah alat untuk mencapai kuasa. Terkadang saya pikir mereka….

(CELINGUKAN MENOLEH KE SEKELILING)

serombongan tikus yang hidup dalam got di sepanjang jalan-jalan kota. Di musim kemarau mereka bisa berkeliaran semaunya, untuk mencuri roti mereka bisa menggerogoti pintu-pintu rumah Saudara, tetapi di musim hujan bisa menebar leptospirosis. Makanya banyak orang kota yang berpikiran tidak waras, karena kencing tikus. Tentu tidak termasuk Saudara, bukan? Karena saya tahu Saudara-Saudara adalah orang-orang yang berpengetahuan luas dan tidak suka mencla-mencle.
Apakah Saudara-Saudara bersedia dipimpin oleh serombongan tikus? Saya kira pasti tidak, karena kalau bersedia Saudara-Saudara saya cap sama dengan para politikus itu, yaitu anggota dari gerombolan tikus…

(SEPERTI MENDENGAR CELETUKAN ORANG)


Apa? He-he-heh, sssttt…ingat jangan sampai terdengar yang lain. Saya bisa diciduk. Nah ini, soal ciduk-menciduk, mungkin Saudara-Saudara masih ingat sewaktu saya diculik dari rumah saya. Itu sudah terjadi pada bulan Desember tahun 1965. Kira-kira usia saya waktu itu 20 tahun. Mestinya saya sudah tamat SMA, tetapi karena kami termasuk keluarga miskin yang hanya hidup dari hasil sawah, saya terpaksa putus sekolah. Kemudian saya memang diajak untuk rapat-rapat, bagaimana mendapatkan tanah-tanah sawah kami kembali. Selama ini orang tua saya hanya menjadi petani penggarap di bekas sawahnya sendiri. Sudah lama sawah kami diambil oleh para tuan tanah. Mereka menjerat kami dengan utang lalu mencuri periuk nasi kami.
Malam itu, Saudara, hujan gerimis dan lolong anjing begini….Aaauuu….Auuumm

(MELOLONG SEPERTI ANJING).


Saya baru saja menyulut rokok jagung, ketika tiba-tiba serombongan orang berseragam hitam dengan selempang pedang, ah bukan, mungkin kelewang di punggungnya membekuk saya.

“Saudara ikut kami…!” kata salah seorang yang bertubuh paling besar. Ia mencengkeram lengan kanan saya. Lolong anjing terdengar lagi, aaauuu, auumm…Saya bergidik. Ketika ia kemudian menambahkan berkata,”Saudara antek-antek PKI…!” saya baru sadar bahwa nyawa saya di ujung tanduk. Waktu itu, Saudara tahu, tuduhan seperti ini bagai vonis mati. Nyali saya tiba-tiba ciut. Darah di kepala saya seperti disedot vacuum cleaner, muka saya jadi pucat pasi. Saya seperti mayat yang begitu saja dilemparkan ke liang kubur.
 

Ketika rombongan yang kukira para jagal itu menyeret saya, meski dengan memelas saya memberanikan diri berkata,”Bapak-Bapak, pasti salah tangkap…”


“Sebaiknya pergunakan kesempatan ini untuk mengatakan hal-hal penting, seperti pesan kepada keluarga,” kata yang berkepala plontos.


“Bapak-Bapak pasti salah tangkap. Pasti bukan saya yang dimaksud,” kata saya lagi.
Saudara-Saudara dalam situasi seperti ini saya pikir tindakan Saudara akan sama dengan tindakan saya. Saya harus menolak tuduhan menjadi antek PKI itu. Sebab, terus terang, saya terpaksa buka kartu di hadapan Saudara-Saudara, saya memang pernah diajak untuk menjadi anggota partai komunis itu, tetapi saya menolak. Seperti juga Saudara tahu, saya tak mau terlibat politik. Urusan saya urusan yang sangat pragmatis, saya cuma ingin kami semua di desa memiliki tanah yang cukup sebagai tumpuan hidup kami sehari-hari. Tak ada lagi yang bisa diharapkan di zaman partai-partai sibuk merebut kekuasaan. Nasib rakyat kecil seperti saya tergeletak di ujung kaki mereka. Setiap saat dengan mudah mereka menunjuk ke arah mana kami mesti berjalan. Ah, nasib sudah tidak lagi berada di tangan masing-masing.
 

Jelas nama saya sudah dikorupsi. Saat-saat kampanye mereka dengan mudah akan memanipulasi begini: Saudara-Saudara partai ini partai milik wong cilik, partai yang berjuang untuk orang-orang kecil dan pinggiran seperti Saudara-Saudara. Saudara-Saudara tahu kami tidak akan membiarkan nasib Saudara-Saudara tergantung di ketiak para tuan tanah, di mana Saudara-Saudara menjadi buruh di tanah milik Saudara sendiri. Kami datang membawa harapan, kami adalah matahari yang tiba-tiba terbit dari balik bukit. Dan memberi sinar kepada kesuraman hidup Saudara-Saudara. Cuma, kalau Saudara-Saudara tidak berada satu barisan dengan kami, bagaimana kami bisa memperjuangkan nasib Saudara-Saudara. Apa Saudara-Saudara mau bergabung bersama kami?

Kalau Saudara-Saudara menolak berarti Saudara-Saudara juga menolak memperbaiki nasib bangsa. Dan itu pengkhianatan yang tidak bisa dimaafkan, tidak bisa dimaafkan, karena Saudara-Saudara berarti juga berlindung di balik punggung para tuan tanah, yang selama ini menghisap darah di kepala Saudara-Saudara…


Nah, Saudara-Saudara sudah dengar tadi kan? Saya jijik, saya muak dengan ajakan-ajakan begini. Kenapa semua orang yang datang kepada kami selalu membawa janji-janji. Mereka tidak pernah datang sebagai sahabat yang tulus, yang begitu sungguh-sungguh ingin mengangkat hidup kami yang melarat ini…Eh sudah begitu pakai mengancam lagi.

Huk-huk….izinkan saya menangis Saudara. Sudah lama kita lupa bagaimana caranya menangis yang baik. Tangis-tangisan yang setiap hari saya saksikan di televisi, telah menjadi semacam sandiwara, yang berusaha membuat kita terharu. Padahal semuanya adalah semu, kita bagai hidup di tengah bayang-bayang. Tak ada lagi ketulusan di negeri ini. Bahkan untuk sekadar menangis, kita pun tega bersandiwara…huk-huk…

“NAMA Saudara ada dalam daftar….!” kata lelaki yang bertubuh besar dan kekar.

“Makanya jangan rewel…”


“Bapak-Bapak salah tangkap…” Mulut saya lalu seperti terkunci. Saya tidak mampu mengatakan hal lain. Karena saya pikir hanya kata-kata ini yang bisa menyelamatkan nyawa saya sekarang.

“Saudara benar bernama Tell, Tell…” Saya menunggu untuk menguji apakah para penjagal ini benar-benar mengetahui nama saya. Karena saya yakin pastilah ia salah tangkap. Saya tidak pernah merasa menjadi aktivis partai untuk memperjuangkan hak-hak petani. Saya cuma tahu bahwa kami tidak lagi bisa seenaknya mengolah tanah. Ayah saya hanya buruh yang diupah untuk bekerja di atas tanah miliknya. Semua hasil panen tidak pernah lagi mengisi lumbung-lumbung rumah kami. Setiap panen, kami hanya bisa melelehkan air mata menyaksikan padi-padi itu, ah padi-padi itu, oh tebu-tebu itu, diangkut entah ke mana. Dan kami dibiarkan seperti tikus yang mengais-ngais sisa. Apalah daya seekor tikus di bawah batang padi yang telah dipanen. Hanya rumput yang tersisa. Dan kami, para pemakan rumput yang tumbuh di bawah kaki-kaki para tuan tanah. Oh hidup ini sungguh kejam, para pemilik pun tak berdaya berhadapan dengan penguasa, karena pemilik belum tentu berkuasa. Oh, huk-huk…(Menangis…) Ah, saya menangis lagi, mohon maaf kalau saya tiba-tiba jadi cengeng, Saudara-Saudara.

“Saudara Teler, ini bukan saatnya menangis. Kalau Saudara masih percaya Tuhan ini saatnya untuk berdoa. Kami mentolerir soal-soal itu,” kata yang berkepala plontos kemudian. Sudah saya duga, mereka pasti salah tangkap.

“Nama saya Meler, Pak…” Saya sebut nama saya yang sebenarnya. Tentulah dengan maksud agar para penjagal ini segera sadar bahwa saya bukan orang yang dimaksud. Dan kemudian dengan memohon maaf, saya akan dilepaskan.

“Mau Teler kek, Meler kek, Saudara sudah terlanjur kami tangkap, pantang untuk mengembalikan barang yang telah kami ambil…” kata yang bertubuh besar.

Barang? Coba, coba, apakah cerita saya ini tidak menyentuh hati Saudara-Saudara. Seharusnya Saudara-Saudara bersimpati kepada saya dan kalau mungkin membantu saya agar terbebaskan dari orang-orang yang menyeramkan itu. Bagaimana mungkin seorang manusia, yang dilindungi oleh aturan seperti HAM, disamakan seperti barang. Apakah dunia ini sudah begitu bengisnya. Manusia-manusia yang hidup di dalamnya sudah tidak sanggup lagi membedakan mana barang dan manusia. Sesosok tubuh yang tidak bernyawa sekali pun, nilainya tidak bisa disamakan dengan barang. Apalagi saya, seseorang yang masih memiliki hak atas nyawanya sendiri.

Tetapi begitulah di zaman itu Saudara, penangkapan seorang anak manusia disamakan dengan memungut kerikil dari tepi jalan. Kapan pun dikehendaki kerikil itu akan dilemparkan ke dasar jurang. Dan Saudara tidak bisa protes, kalau sewaktu-waktu nyawa Saudara disamakan nilainya dengan sebuah kerikil. Artinya Saudara mesti siap mental kapan pun akan disembelih, seperti saya…

TERDENGAR SUARA GURUH DISERTAI KILAT MENYAMBAR, LANGIT GELAP. GERIMIS TURUN…SUASANA INI SANGAT MENCEKAM


Saudara, di malam yang gelap saya digiring ke sebuah tempat. Kepala saya ditutup dengan baju kaos yang saya kenakan ketika duduk di beranda tadi sore. Mereka menaikkan kami ke sebuah truk yang kemudian membawa kami kemari, sebuah gudang tua yang saya kira letaknya di pinggiran kota. Sewaktu dijerumuskan seperti membuang bangkai anjing ke kali, saya masih bisa merasakan panas cuaca perkotaan. Asap dari cerobong pabrik gula masih tercium hidung saya. Tapi di daerah ini memang bertebaran pabrik gula, tentu saja saya tidak bisa membedakan aroma masing-masing pabrik itu. Apa Saudara sanggup membedakan pabrik gula ini aromanya begini, pabrik itu aromanya begitu…Saya yang hidup di sekitar perkebunan tebu saja belum memiliki penciuman setajam anjing, apalagi Saudara yang hidup di perkotaan dan bahkan tidak mengenal pohon tebu…

Di dalam gudang yang pengap, saya lihat puluhan orang duduk di lantai dengan tangan terikat. Sekilas beberapa di antaranya saya kenal. Mereka sebagian besar para petani yang hidupnya serba kekurangan seperti saya. Bagaimana mungkin para petani miskin, tak melek huruf, apalagi politik, menjadi lokomotif penumbangan sebuah rezim. Ah, Saudara banyak yang tidak bisa dimengerti di sini.

Ketika saya ditendang agar bergabung dengan orang-orang ini, saya baru sadar kalau lantai yang saya pijak penuh genangan darah. Samar-samar genangan itu hampir-hampir mencapai mata kaki saya. Ketika saya mencoba jongkok untuk memastikan bau amis, di atas… saya kira di sebuah balkon, terdengar derap sepatu tentara. Dalam beberapa saat para tentara telah berbaris mengambil posisi di sepanjang balkon.


Oh, Tuhan, di sinilah masa muda saya akan berakhir. Saudara, hanya malaikat yang bisa menolong saya. Sebentar lagi kalau bedil sudah dikokang, hingga terdengar suara, krakk…krakk…krakk…dan kemudian bergema letusan berkali-kali, timah-timah panas akan bersarang dalam tubuh saya. Dan saya, kami semua akan roboh, setelah itu, setelah itu, darah kami akan membanjiri lantai ini. Mungkin tingginya akan mencapai lutut Saudara-Saudara.


Diam-diam saya berdoa. Saya mengucapkan rasa syukur diberi pilihan mati di ujung moncong senapan. Paman saya, Juwena, sebagaimana cerita yang kemudian saya dengar harus mati dengan kepala terpisah dari badannya. Setelah diculik seperti saya, ia digiring ke sebuah tepi jurang di pinggir pantai. Di situlah para algojo memenggal lehernya.


Kepalanya berguling dan tubuhnya jatuh ke pantai. Bersamanya juga dibantai begitu banyak manusia yang belum tentu mengerti riwayat kesalahannya.
 
Ketika air surut mayat-mayat itu seperti ikan lemuru yang terdampar dan busuk. Baunya menyusup di antara pohon-pohon kelapa sepanjang pantai. Lalu menabrak pintu-pintu rumah warga. Tetapi tak ada yang berpikir itu bau mayat, apalagi perduli. Sebab keperdulian saja sudah cukup mengantarkan Saudara-Saudara ke tempat-tempat penjagalan. Sementara, Saudara ooohh… kepala mereka dipamerkan di pos-pos jaga. Konon itu menjadi contoh buat orang-orang yang terlibat. Apakah Saudara-Saudara tidak berpikir, sebagaimana yang saya pertanyakan sekarang ini, mengapa bangsa yang konon ramah-tamah dan mengerti sopan-santun ini, bisa begitu liar dan bengis.
Saya bergidik. Di sinilah di negeri yang konon dilahirkan ketika para bidadari bertemu dengan dewa-dewa, ketika bulan bersatu dengan matahari, tangis sudah kehilangan maknanya. Tak ada gunanya lagi menangis. Air mata ini tiba-tiba kering, ketika terdengar ratusan ribu orang dibantai sebagai sekawanan anjing yang dituduh menyebar rabies. Mereka ketakutan ketularan gila, mereka ketakutan dari mayat-mayat itu akan muncul belatung. Kalaupun mayat-mayat itu kemudian dikuburkan, bukan karena mereka tahu bagaimana selayaknya memperlakukan jenazah, tetapi karena mereka takut dari jasad-jasad itu akan menyembur penyakit. Dan pada suatu hari seluruh penghuni kota akan tertular. Artinya Saudara-Saudara, mereka juga memiliki ketakutan yang sama sebagaimana ketakutan saya sekarang ini.


Karena tempias cahaya lampu saya melihat genangan darah di lantai berkilau. Sebentar lagi ketika seruan,”tembaaaakk…!” menggelegar menembus gelap, darah saya, darah kami malam ini akan menjadi bagian dari genangan itu. Apakah bau amis darah kami tidak cukup menjadi pemuas naluri setan yang bersarang di hati para penjagal ini. Apakah harus jatuh ratusan ribu korban lagi dengan dalih menebus kesalahan yang diperbuat oleh segelintir elite, yang namanya pun tidak pernah kami dengar.

Maaf Saudara-Saudara, saya lupa, saya harus berdoa. Sebab mati bagi saya adalah peristiwa sakral, yang mesti didahului dengan doa-doa. Apalagi sekarang saya diberi “anugerah” untuk mengetahui kapan saya harus mati. Saya yakin tak ada satu pun di antara Saudara-Saudara yang sudah tahu hari kematiannya. Tetapi, tetapi sebentar… apa gunanya berdoa, toh sebentar lagi saya akan mati. Saudara-Saudara jangan salah paham, doa-doa diturunkan bukan hanya untuk memohon pertolongan, tetapi yang lebih penting adalah membuat ketenteraman, sehingga tabah menghadapi hari kiamat sekali pun. Jadi biarkan saya berdoa dengan khusyuk sebentar…
SAUDARA belum sempat saya membuka mata, tiba-tiba berondongan peluru menghujani kami. Banyak di antara kami yang panik karena tidak menduga akan secepat itu kami harus menjemput ajal. Di tengah keputus-asaan yang dalam, sejak tadi diam-diam kami tetap berharap akan datang penyelamat, seseorang yang mampu memberi pencerahan bahwa apa yang sekarang menimpa bangsa ini hanya kekeliruan di dalam memahami ideologi. Perbedaan ideologi tidak harus berakhir dengan saling bantai. Bukankah Saudara-Saudara juga tahu, ideologi hanyalah kendaraan yang pada akhirnya membawa kita pada tujuan yang sama. Kalau Saudara-Saudara menyadari itu, bukankah berkuasa hanya sebuah kesempatan yang diberikan dan bahkan ditakdirkan untuk membawa kita semua, apa pun ideologinya, pada keharmonisan, kesejahteraan, dan kedamaian.


Dengan tenang saya menyelinap di balik drum. Saya pikir kalau kematian itu belum disabdakan betapa pun buruknya situasi, saya akan selamat. Dalam temaram cahaya, dari balik drum di sudut ruangan itu, saya lihat banyak orang yang terkapar. Beberapa di antaranya berupaya menyelamatkan diri dengan mencoba menggapai balkon. Tetapi tentu saja berondongan peluru jauh lebih cepat ketimbang mereka yang merangkak dalam genangan darah. Mereka pun akhirnya terkapar. Dan darah-darah mereka tumpah entah untuk apa, saya tidak paham. Inikah politik itu? Beginikah caranya mencapai cita-cita adil dan makmur itu?


Saudara-Saudara mungkin sependapat dengan saya, bahwa jalan kekerasan hampir pasti akan menuai kekerasan yang lain. Lagi-lagi saya bergidik…Kalau toh saya harus mati sekarang, apakah kekerasan akan berhenti di sini? Apakah kekerasan akan berhenti di balik pintu gudang tua ini? Siapa yang bisa menjamin bahwa tumpukan jasad kami sudah cukup berarti untuk menghentikan pembataian.

Saudara? Saudara bisa dan berani? Kalau tidak ada yang berani menjamin, saya tidak rela menjadi tumbal karena kerakusan Saudara-Saudara. Bahkan dengan alasan memulihkan stabilitas pun, apakah Saudara-Saudara akan membiarkan orang-orang yang tidak mengerti politik seperti saya dibantai seperti anjing. Apakah Saudara-Saudara yakin kelas petani seperti kami bisa mengancam kekuasaan?

Kami orang-orang berpikiran sederhana. Bisa turun ke sawah untuk meneruskan hidup esok hari saja sudah cukup. Pendidikan tidak menjadi prioritas, apalagi kekuasaan. Apa yang kami mengerti tentang kekuasaan? Kami tidak perduli siapa pun yang berkuasa, apa pun ideologinya, karena kami cuma mau hidup. Tetapi kami tidak mau menumpang hidup di ketiak para tuan tanah. Kami ingin bebas menentukan nasib kami.


Sungguh tak saya duga, Saudara-Saudara, drum di mana saya merasa akan selamat, tiba-tiba diberondong peluru. Dalam beberapa saat, drum itu meledak dan api membubung menjilat sampai ke atap. Dan saya…saya…terbakar Saudara. Seluruh tubuh saya terasa panas, panas. Bau hangus daging menyebar ke mana-mana. Tak ada yang bisa saya lakukan lagi kecuali berteriak: “Tembak, tembak saya. Meski saya tidak rela, tetapi izinkan saya mati dengan cara yang lebih beradab…Tembak, tembak saya, bajingan…!”

Saya roboh. Tetapi tak saya dengar letusan senapan. Pastilah saya akan mati hangus. Samar-samar saya lihat atap rumah mulai runtuh. Kobaran api rupanya telah membakar seluruh gudang. Orang-orang itu? Ah, saya tidak tahu apakah mereka selamat atau tidak. Saya tidak bisa melanjutkan cerita ini, karena ingatan saya mulai kabur dan pelan-pelan menghilang…


Itulah Saudara-Saudara saya ingin sekali bercerita banyak kepada Saudara-Saudara. Tetapi saya tidak pernah diberi kesempatan, sampai akhirnya saya datang lewat tubuh saudara saya ini. Ia tak lain saudara bungsu saya. Tolong setelah saya pergi sampaikan kepadanya, bahwa saya sangat berterima kasih atas pinjaman tubuhnya. Semoga ia selamat dan tidak mati konyol seperti saya…

TUBUH LELAKI ITU TIBA-TIBA MELOROT DAN KEMUDIAN JATUH TERTIDUR. KETIKA PERLAHAN BANGUN DAN MENGUSAP-USAP MATA, LALU MENGERJAP-NGERJAP LUCU BERKATA…


Mengapa Saudara-Saudara berkumpul di sini? Saya tidak apa-apa. Sudah ya saya harus kembali bekerja, bubar-bubar. Ah apa, jatuh, tadi saya jatuh, pingsan? Saya pingsan…Ah saya baik-baik saja kok. Mungkin Saudara-Saudara yang pingsan, lalu bisa saja menganggap saya juga ikut pingsan. Ayo bubar dong, saya sibuk dan harus kembali memeriksa pasien-pasein saya. Saudara perlu tahu, Puskesmas ini letaknya begitu jauh dari permukiman, jadi terkadang saya ngeri tinggal di sini. Untung juga ya Saudara-Saudara datang…Ah, apa? Saudara-Saudara semua pasien? Saya tidak sanggup mengobati begitu banyak orang…Kita perlu psikiater!

Selasa, 04 Februari 2014

panitia lomba baca puisi tingkat SMP/MTS se_pulau Ambon

MEKANISME LOMBA
1.      Puisi pilihan
Peserta memilih satu puisi pilihan yang ditentukan panitia. Puisi pilihan peserta dibaca pada hari pertama tanggal 12 februari 2014.  Lima belas pembaca terbaik pada lomba hari pertama akan mengikuti final lomba baca puisi dihari ke dua.
2.    Puisi wajib
                        15 peserta terbaik akan membaca satu puisi wajib yang telah ditentukan panitia pada hari ke dua, tanggal 13 februari 2014 untuk memenangkan lomba.
3.      Waktu Lomba
Lomba baca puisi berlangsung dua hari, tanggal 12 – 13 februari 2014. Hari pertama,  peserta akan dipilih hingga 15 orang terbaik untuk kemudian mengikuti lomba di hari ke dua pada tanggal 13 februari 2014.  Registrasi lomba dari jam 08.00-09.00 Wit. lomba dimulai pada jam 09.00 Wit.
4.      Kriteria Lomba
1.      Penampilan.
 kesesuaian pemilihan kostum dengan isi puisi
2.      Intonasi
kesesuaian tinggi rendah nada suara, jeda,  tanda baca dengan isi puisi
3.      Artikulasi
Pelafalan kata
4.      Mimik
Kesesuaian Ekspresi wajah dengan isi puisi.
5.      Gestur
ketenangan, penguasaan diri  di atas panggung serta tindakan dengan isi puisi.
5.      Syarat –syarat peserta
1.      Peserta wajib hadir sesuai waktu yang ditentukan
2.      Peserta membawa sendiri kostum atau peralatan yang akan dipakai
3.      peserta wajib mengikuti aturan panitia yang ditentukan saat lomba dimulai
6.      hak peserta
1.      peserta diberikan nomor peserta pada saat registrasi
2.      peserta akan diberikan hadiah bagi pemenang. Juara 1 berupa piala, piagam dan bonus sebesar Rp. 1.000.000.00, juara 2. Piala, piagam dan bonus sebesar Rp. 750.000.00, juara 3 berupa piala, piagam dan bonus sebesar Rp. 500.000.00. juara 4 – 10 akan diberikan piagam.

Nb. 
·         Panitia tidak menanggung konsumsi peserta.
·         Lomba baca puisi tidak menggunakan pengeras suara
PUISI WAJIB

PELARIAN TERAKHIR
(karya dominggus willem syaranamual)

Baru saja terang membenam hari
Membayang lagi mega merah asap kebakaran
Membawa makluk lari berlepas diri
Pilih! Mati atau hidup

Disini masih ada orang kuat lari
Berlomba dengan maut
Sedang aku berharap dengan laut

Aku turun ke laut
Tapi bukan anak laut
Aku mau tamatkan ini lembaran
Dalam kelam hari

Biar dengan pedoman
Pada hanya sebuah bintang
Yang lagi bercahaya

Orang berlomba
Aku berlomba
Aku membuat satu pelarian terakhir



KEPADA PATTIMURA
(D. Zawawi Imron 1967)

Kala tiang gantungan erat menjerat
Gagang lehermu, senyum cantik kemerdekaan
Menyingsing dari bibirmu
O, hembusan napasmu, tak ada arti
Letusan ngeri gunung berapi
Angkatan demi angkatan boleh bersilih
Tapi parangmu
Dan tiang gantunganmu
Tak terlupakan

Dahagamu dihargai para ahli waris
Yang mengenal nilai kesopanan
Kesopanan yang sepintas pantas mengentaskan perang
Kau lihat sendiri, Pattimura!
Sekitar tahun empat lima dan enam lima
Anak-anakmu menyusulmu
Tapi musuhmu jatuh tersungkur

Kini
Tinggal hatimu yang gemerlapan
Dalam bahasa lampu neon di kota-kota
Dan tunggu! Nanti kan sampai juga ke desa-desa
Biarlah nanti
Pada tiap dinding rumah para pemanjat siwalan
Di ujung timur pulau Madura
Dipasang gambarmu yang memegang parang
Saat ini mereka belum mengenalmu
Tapi senyummu
Sudah kulihat bermekaran pada bibir-bibir mereka
Senyuman tanah air yang begitu indah


PUISI PILIHAN
Karya : “Chairil Anwar”
CERITA BUAT DIEN TAMAELA

Beta pattiradjawane
Yang dijaga datuk-datuk
Cuma satu.

Beta Pattiradjawane
Titisan laut
Berdarah laut.

Beta Pattiradjawane
Ketika lahir dibawakan Datu dayung sampan.
Beta Pattiradjawane, menjaga hutan pala.
Beta api di pantai. Siapa mendekat
Tiga kali menyebut beta punya nama.

Dalam sunyi malam ganggang menari menurut beta punya btifa,
Pohon pala, badan perawan jadi hidup sampai pagi tiba.
Mari menari!
mari beria!
mari berlupa!

Awas jangan bikin beta marah
Beta bikin pala mati, gadis kaku beta kirim datu-datu!
Beta ada di malam, ada di siang
Irama ganggang dan api membakar pulau...
Beta Pattiradjawane
Yang dijaga Datu-Datu
Cuma satu

Pattimura ! [Yos Sudarso, tahun 1959]
Jika kau tanya apa jasaku,
akan aku jawab tidak ada.
Jika kau tanya apa baktiku,
akan aku jawab tidak ada.
Aku hanya melaksanakan kewajiban,
tidak lebih tidak kurang.
Bahkan bendera Viktory yang kukibarkan
bukan pula bendera pahlawan,
tetapi hanya bendera kewajiban
yang akan tetap kunaikkan.
Terima kasih Pattimura, terima kasih para djanto.
Pattimura, kita akan bertemu lagi di laut biru
di bawah bendera kewajiban.
Surabaya, 1959

Elegi Musim Timur ( Farid Latif )

Sekali lagi kita bicara
Setelah sebelumnya kau lebih memilih lautan
Katamu disana ada Tuhan.

Sekali lagi kita bicara
Setelah kekecewaan membuat kita tak lagi bisa mengucapkan selamat tinggal
Katamu akulah yang lebih dulu diam.

Kali ini dengan malam dan aroma lautan
Sekali lagi kita bicara
Dan kau berkata tentang siluet disenjanya Saparua
Lalu tentang arus dan gadis-gadis di Tanjung Yanain
Juga legenda-legenda yang karam disepanjang pesisir pulau Seram.

Tapi tidak dengan delapan tahun yang lalu
Ketika terakhir kali kita bicara
Tentang mengapa Tuhan membuatmu putus sekolah.

Karya : MARIANA LEWIER
v  MENABUR PASIR
Pada setiap jejak embun yang menetes
Dari daun-daun sagu di rawa-rawa
Pada deretan pepohonan cengkeh
Di bukit-bukit keletihan …
Pada bentang pantai
Yang menimbun jejak pesiarah
Aku menabur pasir
Di sepanjang garis penantian
Dan menyaksikan jatuhnya
Bagai ukiran butir kisah berabad lalu
Penggalan tuturan para tetua negeri
Yang menyimpan haru di dada

Sejak semula segala menanti
Dan rentangan waktu membaluti
Langit yang meraih mentari
Dibalik paparisa tua milik para datuk
Yang menyulam sejarah Negeri Seribu Pulau
Dengan dendang kapata dan untaian lania
Menghidupi soa demi soa berlaras sumpah persaudaraan
Namun, kini terkikis ombak
Mengurai kelembutan pasir putih nurani

Para lelaki bak pengintai di musim peralihan ini
Generasi yang tak lagi mengusung parang salawaku
Lereng-lereng bukit pala yang telah ditinggalkan kepada penjaga hutan
Beradu nasib menancap rasio
Di atas perahu berlayarkan ambisi
Dan para wanita telah berubah menjadi pemetik hari yang berlari melepaskan damba
Yang terkubur di semenanjung sunyi
Karena tak ada lagi perahu nelayan
Berpelita di malam hari
Namun, aku tetap menabur pasir
Mengisi kekosongan pantai-pantai yang setia menunggu
Kembalinya para pemilik negeri

“Mariana Lewier”
v  SANG PENYELAM MUTIARA
Kau terjunkan dirimu di lautan berkarang stelah meneggak sebotol tuak koli
Buih ombak peradu cerah mentari mengantar ayun kepak raga

Diantar sorot harap si jantung hati menakar butiran beras yang tak bersisa lagi
San penyelam pun membelah luas kedalaman Laut Banda

Mungkin sudah begitu akrab rerumput dan bunga karang menggodamu
Sebelum kau sibak siap celah kerang penyimpan butir mutiara

Atau ragam satwa laut sekedar menyentuh tubuhmu yang hamper telanjang
Dalam tatapan mata yang memerah basah namun awas

Jika akhirnya nasib mempertemukan binary matamu dan sinar kilau dibalik katup
Waktu pun terasa begitu singkat dalam anjangsana tak berpesan

Genggam erat membunga senyum di bibir
Membayang dekap hangat bidadari mengganti dingin yang tinggal di dasar hati

Karya : ROYMON LEMOSOL
v  JANJI MUNGARE-JUJARO
Lahir dari rahim nusa ina
Menetek di putting alifuru
Kami tumbuh menjadi mungare jujari kabaresi

Minum dari pancoran keringat
Tubuh kami makin kekar
Jiwa lebih tegar

Sekolah tak harap beasiswa
Belajar ditemani pelita
Kami mampu meraih cita

Kerja penuh dedikasi
Diangkat jadi pegawai tinggi
Kami berjanji: tidak akan korupsi

v  MENGEJAR MIMPI PENOKOK SAGU
Bertahun-tahun ku arungi luasnya laut
Yang begitu gigih telah kau rajut
Dengan sulur-sulur keringat
Sebelum datang senja merenggutnya dari lubuk pagi

Musim dari musim telah aku jalani
Mengejar mimpi yang menampik sisa tidurmu
Pedoman pada kiblat yang kau sematkan dalam benak
“jangan pernah kembali sebelum mimpi kau genggam
Tanah ini pijakanmu. Telaga ini juga seberanganmu
Tapi parang dan nani sekali-kali bukan genggamanmu”

Lama sudah aku di seberang
Yang ku kejar elah tergenggam
Namun ada yang masih terpendam
Dalamnya telaga belum aku selam

Karya:  REVELINO BERRY
v  CUMA SATU MUSIM
Satu masa perlahan terkikis lalu habis
Usai senyum terkembang manis seranum buah-buah pala
Satu masa perlahan hilang seperti kamu-kamu menipis
Hilang termakan sengat menyala

Musim itu seperti bunga-bunga cengkeh pada dahan ranting tinggi
Tak tersentuh, menjadi tua, lalu polong, lalu gugur
Lalu siapa hendak mencari sambil menari
 Jika berakhir di akar kayu dan rumput padahal hari sudah kabur

O, nona-nona manise

Mari tulis kisah, melukis manis-manis
Mari menari sebelum lenso jatuh dari mata cele
Sebelum mempelai pria datang melingkari jari manis
Lalu rambut memutih, tinggal cerita waktu mama masih nona

Ole la sio nyong-nyong kabaresi e

Mari cakalele sebelum gantung parang dan salawaku
Pahat dengan gagah di dinding-dinding batu
Di karang-karang, batang-batang kayu, besi dan tiang
Satu kisah untuk anak cucu saat bendera sudah turun

Satu masa perlahan pergi
Lalu senyap seperti malam dan cala ibi
Orang muda e, mari menari, mari cakalele
Musim ini panjang tapi cuma satu kali

Karya : RUDI FOFID
v  NOSSA SENHORA DA ANUNCIADA
Demi nama Bapa
Dan Putera
Dan Roh Kudus
Amin

Malaikat itu datang
Dia membawa berita
Anunciada
Anunciada

Maka di tanah Amboina
Ku taruh batu-batu karang
Kita menyusun bata merah
Menjadi satu kota laha

Ave maria, bunda Amboina
Ave maria, berlayarlah bersama
Menjadi bintang laut saban malam
Menempuh lautan gelombang

Maka di segala kenang-kenangan
Kujejerkan pohon-pohon flamboyan
Pada musimnya dia selalu berbunga
Semerah matahari saga di tanjung alang

Ave maria, bila kelak asap butakan mata
Kamu-kamu dan angin sibu-sibu kan jadi topan
Perciki tanah ini jadi sesuci altar dan sajadah
Acang dan obet sujud di atas tanah yang sama

Demi nama Bapa
Dan Putera
Dan Roh Kudus
Amin


filter: alpha(opacity=100); -moz-opacity: 1.0; opacity: 0.6; -khtml-opacity: 0.0; - See more at: http://langkah2membuatblog.blogspot.com/2012/12/cara-membuat-background-blog-sendiri.html#sthash.1OO2GH7H.dpuf