Panggung
gelap dan hening sesaat, di atas panggung hanya ada beberapa kursi dan meja
dari kayu yang tertata rapi layaknya formasi kursi dan meja yang ada di ruang
tamu di tambah satu kursi santai menghadap penonton…! Dari sisi kiri panggung
masuk sosok pria memegang selembar kertas ( Farok ) diiringi lampu sorot.
Dengan wajah gusar penuh sesak, seperti orang yang menahan ribuan tumpukan
dalam dadanya. Orang itu berjalan perlahan menuju tengah panggung yang masih gelap,
sebab cahaya hanya ada pada lampu sorot yang kini menampakkan tubuhnya. Dengan
gerakan perlahan pria itu menggerakan tangannya ke atas hingga tangan yang
menggenggam kertas tersebut sejajar matanya. Seperti posisi orang membaca puisi,
Pra itu mulai membuka suara.
Farok : demi ribuan mayat yang terapung dalam
genangan abu mesiu, demi orang-orang mati yang kini masih bernafas. Seperti
langit yang hitam menghujam bumi dengan hujan. INI LUDAH UNTUKMU TUHAN…
beberapa bait puisi ini adalah penggalan dari puisi yang ia tulis dalam jejaring
social facebooknya terus ia baca berulang kali,, pikirannya penuh dengan
kata-kata makian dan umpatan yang ia rasa sebentar lagi akan beralamat padanya.
Sejak puisi itu dijadikan sebagai wacana dalam sebuah pertemuan di sebuah
stasiun televisi swasta yang membahas tentang peran jejaring social terutama
facebook dalam kehidupan masyarakat. Ribuan statement beserta respon negative
terus berkembang merambah ribuan rakyat di seluruh negri tanpa terkecuali,
bahkan di desanya ia mulai menerima beberapa perlakuan tidak baik, dari mulai
dimarjinalkan hingga di jadikan sebagai sasaran empuk fitnah. Hingga puncaknya
pada siang kemarin, ketika Pak RT beserta perangkatnya tumpah ruah membanjiri
ruang tengah rumahnya yang sempit. “hari ini kau harus angkat kaki dari desa
ini” kata Pak RT yang kemudian dibumbui dengan berbagai macam ocehan pedas
perangkat-perangkatnya. Dalam lamunannya
yang hening tiba-tiba dari luar panggung muncul suara-suara bersahutan meneriakan
kata-kata umpatan juga panggilan agar membawa dia ke sidang balai desa atau
bahkan dirajam di alun-alun desa.
Dari luar: bakar, bunuh, kebalai desa
saja,,, murtad, orang sinting, gila… kata-kata itu terus bergantian. Dalam kegentingan itu si pria yang sendirian
di panggung tetap tak bergeming, bahkan wajah gusarnya tadi berubah
drastis,wajahnya perlahan berubah cerah dengan mimic 40 % mendekati senyum,,
perlahan ia melangkah menuju kursi santai kemudian duduk, lalu mengelurakan
rokok dan di hisapnya. Sementara di luar panggung.
Di luar: bakar, bunuh, kafir, rajam, orang
sinting….. semakin riuh,, smakin
panas, semakin genting.. pria ini tahu seberapa besar bahaya yang akan
mendekapnya kini, namun ia masih tak bergeming dalam kenikmatan asap rokok yang
mengepul. Dan tiba-tiba. Suara pintu di buka paksa, mungkin dengan tendangan…
dan daria arah sisi kanan panggung masuk puluhan pemuda bertubuh tegap, ada
yang menenteng parang juga pacul serta berbagai macam benda yang mampu
membunuhnya, atau merusak dan mengoyakkan kulit kasarnya.. salah satu pemuda
angkat bicara, sebelum masa mengamuk.
Pemuda 1: kamu yang namanya Farok haaa…??? Semua pemuda diam,
Farok :
ya.. saya, ada apa..? seperti tidak
tahu apa-apa.. masih dengan kursi santai yang bergoyang maju mundur.
Pemuda
yang lain merangsak maju, namun pemuda yang tadi angkat bicara menghalangi.
Sepertinya dia yang paling dihormati disitu..
Pemuda
1: kamu yang punya status mau ludah
tuhan di facebook khan..?
Farok : ya
saya kenapa..?? masih dengan bahasa yang santai, tapi tiba-tiba.
Buk,
buk,, prak,prak…. Satu tendangan menerpa tanpa disadari oleh Farok. ia
meluncur menuju dasar panggung dengan kursi santainya yang hancur.. ia berdiri
seluruh pemuda yang ada di atas panggung merangsak lagi.. namun di cegah oleh
pemuda yang paling awal bicara..
Pemuda
1 : berhenti, kita hanya disuruh membawanya ke
balai desa untuk dimintai pertanggung jawaban atas kekurangajarannya..
Pemuda yang lain : ayo arak dia menuju balai desa,, beberapa
pemuda mengerumuninya, lampu panggung gonjang-ganjing, sesaat kemudian
kerumunan pemuda beranjak, tampak Farok dalam keadaan terikat kemudian diarak
dalam keadaan terikat jadi satu dengan kursi… kerumunan berjalan menuju pintu
keluar sebelah kiri… lampu gelap, panggung hening,, namun suara arakan terus
bergema…. Hingga arakkan muncul lagi dari bagian lain pintu panggung.. lampu
nyala, panggung sebentar terang sebentar gelap…
Dari kanan panggung.. bakar, bunuh, gantung,,,,,,, kali ini
beberapa orang mulai melempar Farok dengan berbagai macam benda. Arakaan akhirnya
berhenti di tengah panggung dengan posisi pemuda yang di arak menyamping
penonton membelakangi tali gantungan yang telah berada disitu sejak arakan
mulai masuk, Farok kini berhadapan dengan pengarak… dari arah kiri muncul seseorang
berpakaian rapi di iringi 2 orang pengawal, dan beberapa dayang. Melihat itu
semua pengarak diam.. dengan mata terus mengikuti arah jalan beberapa orang
yang baru datang.. seseorang yang baru datang berperan sebagai kepala desa.
Kepala Desa: berjalan dengan penuh
wibawa kemudian berhenti persis di tengah panggung antara pemuda yang di ikat
dengan kursi, dan para arakkan.. nama..???
Farok : Farok.
Kepala Desa : lengkap..! agak
meninggikan suaranya..
Farok
yang sedari tadi menunduk peNuh takdjim menengadahkan pandangannya. Dengan
wajah yang bopeng namun masih ada gurat senyum yang Nampak. Ia menjawab..
Farok : apalah artinya sebuah nama jika setelah ini
nama itu akan tak berfungsi lagi…
Mendengar
jawaban Farok yang begitu berani itu, sontak para arakan geram.! Berbagai macam
benda pun melayang kembali diiringi riuh suara ribut.. Kepala Desa yang tak
menyadari akan menerima jawaban seperti itu melongo sesaat kemudian mengangkat
kepalan tangannya, dan semua orang yang semula memerankan peran sebagai
pengarak kembali diam.
Kepala Desa : Farok,farok,farok… dengan
senyum misteri, karena diam-diam penasaran dengan keberanian pemuda yang diarak
tersebut. sambil mengulang nama pemuda
tersebut Kepala dESa mendekatinya… sambil menyentuh dagu kepala desa
memalingkan wajah Farok ke kiri-dan kanan, lihatlah
anak muda, wajahmu ini .. cckckcc (seperti suara cicak) kau tak berada diposisi berkomentar… mimiknya
sontak berubah jadi senyum yang dibuat-buat.. jangan-jangan. Mengucap dengan sedikit dengusan! Kau juga tak mengakui kesalahanmu..!
sekarang katakan. Benarkah kau yang menulis puisi ludah untuk Tuhan..??
Farok : Ya… aku mengakuinya,,
aku yang menulis..!
Kepala desa: anak muda, apa kau sadar apa
yang kau lakukan.
Farok :
saya sadar… mendengar jawaban yang
lugas dari Farok. Sontak orang-orang yang mengaraknya geram, mereka pun riuh
kembali, lemparan tak terelakan lagi, batu-batu melayang di atas panggung,
kepala desa semakin cemas akan keputusan yang nantinya iya ambil. Para arakan
sontak diam setelah kepala desa mendongakan wajahnya yang merah padam ke arah
arakan.
Kepala desa : katakan kalau ini paksaan orang lain untuk menyusahkanmu anak muda,
mungkin hukumanku akan ringan, aku tak ingin.. belum selesai bicara Farok
sudah memotongnya dengan kata lugas.
Farok :
yach… aku dipaksa.! Mendengar itu
wajah kepala desa berubah cerah,, tapi Farok melanjutkan ucapannya.. aku
dipaksa oleh hatiku untuk menorehkan kata-kata itu…
Kepala Desa : dengan senyum yang dibuat-buat iya berkata dalam pasrah.. Ooouuuwww.. jadi kau tidak
menyangkalnya...! wajah kepala desa geram,, bawa dia ke tiang gantungan.. panggung gonjang ganjing… orang2 riuh.
Panggung gelap, bercahaya, gelap. Bercahaya terus menerus bergantian. Sementara
satu lampu sorot terus mengawasi gerak-gerik Farok. Hingga akhirnya ia berdiri
dengan tali gantungan di lehernya, menunggu waktu mengucapkan kata selamat
tinggal.. orang-orang kembali melemparkan beberapa benda menuju sekujur
tubuhnya yang berdiri menahan rasa dalam waktu yang seakan berjalan lambat.
Dalam kegaduhan itu. Kepala desa angkat bicara.! Saudara-saudara panggung dan isinya hening hari ini ingatlah.! Demi nama Tuhan yang mengukir lekuk di antara
hidung dan mulut kita, penghinaan atasnya sangatlah berdosa, dan
penghinanya… dalam keheningan dan
dalam bisunya ruang akibat satu titah yang ingin disampaikan oleh kepala desa
itu tiba-tiba Farok angkat bicara, menyela ucapan sang kepala desa..
Farok :
lisensia poitika, aku bertanya Tuhan
macam apa yang kita sembah Pak…. ( panggung
lebih hening dari saat hening yang terjadi sebelum-sebelumnya ) tapi Farok
sedikit pun tidak menghiraukannya ia terus melanjutkan perkataanya.. lisensia poitka, aku bertanya Tuhan macam
apa yang menyuruh kita menembus
hutan-hutan, melukainya hingga separuh gunung kelihatan botak, Lalu ribuan
percikan air mengaum deras menggusur semua peradaban.! Tuhan macam apa yang
menjanjikan kesenangan bagi orang-orang yang menciptakan kerisauan pada
umatnya. Tuhan macam apa yang melahirkan aku dalam buta lalu memberikan aku
mata saat orang-orang yang memberikan cintanya demi kelahiranku telah tiada,,
Tuhan yang memvonis mereka dengan Titah Jihad yang samar….???? Tuhan yang mana.??? Tuhan macam apa..??? Dalam kata-kata yang
disyairkan dengan suara sayu bercampur perih itu,,, Algojo telah melambaikan
pedangnya pada tali yang tersimpu menuju pengait leher sang pemuda,,, dan tanpa
sadar…. Sreerreeeetttt…… waktu telah memvonis Farok dengan kata mati….. semua diam, semua sepi,,, seluruh isi
panggung tersadar ketika masa telah lebih dulu berlari menuju satu kata akhir….
Kepala desa : kita telah salah menikam
sembilu pada uluh hati seorang pemuda yang penuh dengan perasaan kasih, yang
kaya akan nurani untuk menyayangi…. Dengan
perlahan kepala desa berjalan menuju gantungan, meraih secarik kertas yang
tertulis satu puisi… LUDAH UNTUK TUHAN… para
arakkan yang tadinya geram kepada sang pemuda lemah hatinya, mereka pun
tersadar mereka , belum menanyakan secara mendalam tentang puisi yang ia buat…
mereka tanpa sadar menggotong mayat si pemuda lalu berjalan. Dan kini bukan
lagi batu yang melayang menyentuh tubuh si pemuda, tapi bunga, bunga yang
berhamburan bersama rasa penyesalan mendalam. Dalam arakan yang hening saat lampu panggung
masih memberi silau,, dari luar panggung puisi LUDAH UNTUK TUHAN bergema..
demi ribuan mayat yang terapung dalam
genangan abu mesiu,
demi orang-orang mati yang kini masih
bernafas.
Seperti langit yang hitam menghujam bumi
dengan hujan.
INI LUDAH UNTUKMU TUHAN
Tuhan yang tumbuh dari seseorang yang tak tahu seperti apa Tuhan
Tuhan yang lahir dari rahim manusia yang
tak mengerti
Arti kata T
Arti kata U
Arti kata H
Arti kata A
Arti kata N
Tuhan yang kini jadi pujian orang yang
dibenci oleh Tuhan.
Ini ludah untukmu Tuhan..!
adakah benar Tuhan mengesahkan tindakan yang dilarang oleh Tuhan
Tuhan macam apa.?
sungguh, aku melihat Tuhan tersenyum penuh kuasa kepada tuhan-tuhan
lewat ayat-ayatnya,,, aku membaca sorot tajam kuasanya menikam dalam lemahnya para tuhan-tuhan.
Puisi
pun berakhir di sertai lampu panggung yang padam,, saat lampu kembali menyala,
semua orang yang berperan dalam pementasan ini keluar dan memberi salam hangat
atas tepukan riuh para penonton.
puisi memiliki ketidakterbatasan dan
keamatbebasan dalam pemilihan kata dan bentuk puisi yang disebut Lisensia
Puitika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar