PENGAJARAN sastra di SLTP berdasarkan Kurikulum 1975, Kurikulum 1986, dan Kurikulum 1994 belum memenuhi harapan terhadap peningkatan apresiasi siswa pada karya sastra. Demikianjuga dengan Kurikulum 1994 Suplemen GBPP 1999 harapan akan terwujudnya pengajaran apresiasi sastra
yang apresiatif belum menunjukkan hasil yang maksimal. Kini harapan itu tertuju pada Kurikulum Bahasa Indonesia Berbasis Kompetensi yang rencananya mulai disosialisasikan pada Tahun Pelajaran
2002/2003 ini. Dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi tersebut dinyatakan secara jelas indikator yang akan dicapai pada setiap pembelajaran bahasa Indonesia, termasuk di dalamnya pembelajaran sastra. Dengan demikian, diharapkan tujuan pengajaran sastra dapat terwujud.
Pada dasarnya, pengajaran merupakan proses penanaman, pemeliharaan, pembinaan, dan penumbuhan lia] yang diajarkan ke arah perkembangan. Demikian juga dengan pengajaran sastra. Melalui pengajaran sastra diharapkan dapat meningkatkan daya apresiasi siswa terhadap sastra. Harapan ini hanya akan terwujud apabila dilakukan usaha perbaikan secara terus-menerus ke arah peningkatan mutu pengajaran sastra. hanya menuntut siswa memiliki pengetahuan dasar dalam mengapresiasi sastra, tetapi juga menuntut siswa memiliki keterampilan dan kegemaran siswa mengapresiasi karya sastra. Dalam pelaksanaannya di sekolah, pengajaran sastra sering diarahkan pada pengetahuan saja. Pemberian tugas mengapresiasi karya sastra dapat dikatakan langka. Padahal kegiatan mengapresiasi karya sastra dapat mewujudkan keterampilan dan kegemaran siswa terhadap karya sastra.
Langkanya kegiatan pelatihan mengapresiasi karya sastra disebabkan oleh beberapa hal. Tiga di antaranya yang dapat disebutkan. Pertama, guru sastra enggan atau tidak berkesempatan mencari karya sastra sebagai bahan pelatihan mengapresiasi karya sastra. Kedua, penyediaan atau pencaharian karya sastra yang sesuai dengan tema pembelajaran dirasakan sulit oleh guru sastra. Ketiga, siswa sendiri yang tidak tertarik mempelajari karya sastra karena mempunyai pendapat yang negatif terhadap karya sastra.
Sebagai upaya untuk mengatasi hal tersebut, maka dalam tulisan ini dikemukakan beberapa permasalahan yang dihadapi dalam pengajaran sastra di SLTP dan sekaligus cara oemecahannya. Hal ini dimaksudkan agar tujuan pengajaran sastra, yakni siswa dapat mengapresiasi karya sastra dapat terwujud.
Memilih Bahan Pengajaran Sastra
Untuk mewujudkan pengajaran sastra yang apresiatif, masalah bahan pengajaran harus mendapat perhatian yang serius. Tidak semua karya sastra dapat dijadikan hahan pelajaran. Bahan yang akan diajarkan harus diseleksi, dipilih yang cocok dengan jenis dan tingkatan sekolah.
Bahan pelajaran sastra yang tersedia untuk diajarkan di SLTP seringkali jumlahnya terbatas. Hal ini menjadi hambatan bagi guru untuk mencobakan strategi tertentu dalam pengajaran sastra. Akibatnya, guru gagal dalam mencapai tujuan pengajaran sastra. Selain itu, kegagalan pengajaran sastra juga dapat diakibatkan oleh kecerobohan guru dalam memilih dan mengembangkan bahan pelajaran sastra.
Oleh karena itu, dalam memilih dan mengembangkan bahan pengajaran sastra yang akan diajarkan kepada siswa SLTP perlu’ diperhatikan kriteria pemilihannya. Kriteria pemilihan bahan pelajaran sastra meliputi segi bahasa, psikologis, latar belakang, pedagogis, dan estetis. Selain itu, bahari pengajaran harus valid, bermanfaat, menarik, dan ada dalam batas-batas kemampuan siswa untuk mempelajarinya, serta harus pula dilihat dari segi ragamnya.
Karya sastra yang menjadi bahan pelajaran harus sanggup berperan sebagai sarana pendidikan menuju ke arah perndan sekaligus cara pemecahannya. Hal bentukan kebulatan kepribadian para siswa. Sesuai dengan fungsi dan perannya, pengajaran sastra diharapkan sanggup mengembangkan berbagai škaaâ . aspek kejiwaan siswa, seperti perasaan, pikiran, dan indera. Pokoknya, pengajaran sastra harus sanggup mengembangkan cipta, rasa, dan karsa para siswa. Oleh karena itu, bentuk dan isi karya sastra yang guru ajarkan harus diseleksi dengan pertimbangan masak-masak dari segi pengembangan aspek-aspek tersebut.
Menumbuhkan Budaya Baca
Salah satu upaya yang bisa ditempuh untuk meningkatkan pengajaran sastra yang bersifat. apresiatif adalah dengan memacu siswa agar gemar membaca. Membaca tidak saja terbatas pada buku paket, tetapi juga buku-buku fiksi. Dengan banyak membaca berarti membuat cakrawala berpikir siswa semakin terbuka.
Menumbuhkan budaya baca di kalangan siswa dapat dilakukan dengan memanfaatkan perpustakaan, baik perpustakaan sekolah maupun perpustakaumum dan perpustakaan daerah. Perstakaan merupakan salah satu sumber belajar yang teramat penting. Berkaitan dengan hal itu, perpustakaan sekolah menunjang pelaksanaan kurikulum sekolah untuk mencapai tujuan pendidikan
perlu dibina sebaik-baiknya agar dapat menunjang pelaksanaan kurikulum seklah untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Adapun tujuan perpustakaan sekolah, antara lain meletakkan dasardasar mandiri, memupuk bakat dan minat baca, mengembangkan penghargaan pada pengalaman imajinatif, serta memecahkan masalah atas tanggungjawab sendiri.
Perpustakaan sekolah harus menyediakan buku-buku sastra yang akan dijadikan bahan pelajaran sastra. Kenyataan yang kita lihat di perpustakaan sekolah, kalaupun ada buku sastra yang tersedia, jumlahnya tidak banyak dan tidak bervariasi sehingga tidak dapat dijadikan bahan pelajaran. Akibatnya, buku-buku sastra tersebut rusak bukan karena dibaca, melainkan dimakan rayap.
Untuk menarik minat siswa berkunjung ke perpustakaan, hendaknya juga ruang perpustakaan diatur dengan baik. Suasana yang nyaman, pelayanan yang ramah, dan ruangan yang bersih merupakan hal-hal yang perlu penanganan serius dari pengelola perpustakaan. Jika hal ini mendapat perhatian yang sungguh-sungguh minat baca siswa dapat ditingkatkan. Dengan demikian, meningkatnya minat baca siswa pada akhirnya akan mengarahkan siswa memiliki kemampuan apresiatif terhadap karya sastra.
Meningkatkan Kemampuan Siswa Mengapresiasi sastra
Kurangnya daya apresiatif siswa terhadap karya sastra terlihat secara jelas dalam kegiatan membaca puisi atau berdeklamasi. Mereka sering salah tafsir dalam membawakan puisi. Penyebabnya diduga dari kurangnya persiapan yang matang, baik secara teoritis maupun secara praktis.
Membaca puisi atau berdeklamasi dalam arti menghidupkan kesan sebuah puisi dan memindahkan puisi dari halaman buku ke depan publik untuk dinilai juri belum memasyarakat. Hal itu terutama karena pembaca sendiri belum mampu mempersembahkan sebuah pembacaan yang apresiatif, kaya makna, serta vokal yang kuat dalam arena lomba. Dengan demikian, akhirnya juri terjebak dan terlena mendengarkan kemerduan suara pembaca puisi itu. Pembacaan yang menampilkan kemerduan suara dengan banyak gerakan hasil rekayasa sendiri yang tentunya bukan refleksi oleh kuatnya penafsiran justru mengaburkan makna sebuah pembacaan.
Bekal dasar membaca puisi umumnya tidak dimiliki oleh siswa karena tidak diberikan secara rinci dalam kegiatan belajar-mengajar sastra. Penyebabnya, pemberian teori membaca puisi yang beranjak dari penafsiran sampai pada latihan-latihan penjiwaan justru lepas dari tuntutan kurikulum. Guru diperhadapkan pada pencapaian target kurikulum. Ini berarti kurangnya kemampuan siswa membaca puisi yang apresiatif dan komunikatif bukan hanya disebabkan oleh guru. Akan tetapi, yang paling berpengaruh adalah belum adanya kurikulum yang baku dalam pengajaran sastra.
Keadaan yang sama juga terlihat pada kurangnya kemampuan siswa mengapresiasi karya-karya prosa. Hal itu terjadi karena siswa teryata lebih menyukai hiburan modern yang mudah dinikmati, seperti menonton tayangan televisi dibandingkan dengan membaca roman, novel, dan cerpen. Walaupun ada siswa yang mau membaca roman, novel, dan cerpen, namun penilaian terhadap karya sastra yang berbentuk prosa itu kurang utuh. Penyebabnya tentu saja karena kurangnya minat baca siswa. Akibatnya, sebuah novel yang baik sering dinilai kurang berbobot seperti jelek, klise, dan
ceritanya tidak menarik. Nilai-nilai yang terkandung di dalam novel hampir tenggelam oleh kurangnya kepekaan siswa menghayati cerita novel tersebut. Untuk mengantisipasi hal itu, kurikulum mempunyai peranan yang sangat penting.
Penghayatan siswa terhadap karya sastra berbentuk drama tampaknya sama dengan penghayatan siswa terhadap prosa. Pelajaran teori drama sebagai suatu pengantar untuk menunjang praktik tidak termuat di dalam kurikulum pengajaran sastra. Dengan demikian, bentuk kreativitas siswa yang mengacu pada keterampiran bermain peran menjadi hilang karena kurangnya aktivitas. Maksudnya,
setiap tahun pelajaran, apresiasi drama jarang dilakukan atau tidak sama sekali. Apabila hal ini dibiarkan berlarut-larut, pengajaran sastra semakin mengkhawatirkan.
Untuk mengatasi masalah kurangnya daya apresiasi siswa terhadap karya sastra seperti yang diungkapkan di atas, maka sebaiknya pada setiap sekolah (SLTP), jam pelajaran bahasa Indonesia yang 6 jam setiap minggu itu dibagi dua. Pembagiannya, 4 jam untuk pengajaran bahasa dan 2 jam untuk pengajaran sastra atau disesuaikan dengan kondisi sekolah. Guru yang mengajar juga ada dua
orang. Untuk pengajaran bahasa diajarkan oleh guru bahasa, sedang untuk pengajaran sastra diajarkan oleh guru sastra. Kalau pembagian tugas ini dapat terlaksana, maka harapan kita akan mencapai tujuan pengajaran sastra yang apresiatif dapat tewujud.
Apabila tujuan pengajaran sastra terwujud, maka siswa memiliki kemampuan mengapresiasi karya sastra. Mereka dapat membaca puisi dengan mimik dan intonasi yang tepat. Dapat juga mereka memahami makna yang terkandung dalam setiap puisi, prosa, dan drama yang dibacanya. Selain itu, mereka pun berusaha menciptakan karya sastra, baik prosa, puisi, maupun drama sesuai dengan ke-
mampuan yang dimiliki.
Karya sastra yang dihasilkan oleh siswa memerlukan wada penampungan. Dalain hubungan itulah, guru sastra dapat mengusulkan pendirian majalah dinding kepada kepala sekolah. Hal ini penting sebab pendirian majalah dinding memerlukan dana yang cukup untuk membuat wadah penampungan karya siswa, seperti papan pengumuman yang ada kacanya dan dilengkapi dengan kunci. Pembuatan papan itu hendaknya dibuat secara baik agar menarik perhatian siswa. Selanjutnya, majala dinding itu dipasang pada tempat yang srategis sehingga memudahkan siswa untuk membacabya.
Agar majalah dinding itu dapat terbit secara berkala, maka perlu ditunjuk susunan pengurusnya supaya mereka dapat bekeija sesuai tugas yang diembannya. Selain itu, naska yang diterbitkan setiap minggu harus dilakukan secara bergilir pada setiap kelas. Seandainya dalam suatu waktu tertentu ada kelas yang jumlah karyanya belum cukup untuk dipasang pada majalah dinding, maka untuk mencukupinya dapat diambil karyakarya kelas lain, ataukah pengurus majalah dinding yang membuat karya-karya yang dimaksudkan.
Selain mendirikan majalah dinding, di sekolah juga perlu dibentuk sanggar kegiatan sastra. sanggar kegiatan sastra ini merupakan wadah untuk menyalurkan bakat dan minat siswa bermain peran (berakting) dan membaca puisi di luarjam pelajaran di sekolah. Agar kegiatan ini dapat berlangsung sebagaimana yang diharapkan, guru sastra dituntut untuk turut menambah pengetahuan dan pengalamannya dalam peugapresiasi sasIra.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa guru sastra memegang peran yang sangat penting dalam mewujudkan pengajaran sastra yang apresiatif di SLTP. Guru sastra merupakan ujung
tombek pengajar sastra sebab secara langsung berhadapan dengan siswa. Oleh karena itu,dalam membenahi pengajaran sastra di SLTE peningkatan kualitas guru harus mendapatkan prioritas utama di samping kurikulum sastra yang baku yang menempatkan pengajaran sastra sejajar dengan pengajaran bahasa.
Hal ini penulis katakan sebab bagaimanapun baiknya sstiap komponen dalam pengajaran sastra jika guru sastra tidak dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, maka tujuan pengajaran sastra tidak akan tercapai. Adanya Seperti Tiada
Beranjak dari berbagai persoalan yang dikemukakan di atas, tampaknya ada beberapa hal yang penting untuk dicermati ulang dalam pembelajaran sastra di sekolah dengan menggunakan acuan kurikulum yang diberlakukan saat ini. Pertama, dalam Kurikulum 1994, misalnya, yang diberlakukan di SD, SLTP, ataupun SMU disebutkan bahwa pembelajaran sastra dalam berbagai aspeknya diarahkan pada penumbuhan apresiasi sastra para siswa sesuai dengan tingkat kematangan emosionalnya. Hal ini mengisyaratkan bahwa perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran sastra idealnya diarahkan pada penumbuhan apresiasi pada siswa. Apresiasi sebagai sebuah istilah dalam bidang sastra dan seni pada umumnya sebenarnya lebih mengacu pada aktivitas memahami, menginterpretasi, menilai, dan pada akhirnya memproduksi sesuatu yang sejenis dengan karya yang diapresiasikan. Karena itu, kegiatan apresiasi tidak hanya bersifat reseptif: menerima sesuatu secara pasif. Tetapi, yang lebih penting, apresiasi juga bersifat produktif: menghasilkan sesuatu secara aktif. Karena itu, pembelajaran sastra di lembaga pendidikan formal idealnya tidak hanya sebatas pada pemberian teks sastra dalam genre tertentu untuk dipahami dan diinterpretasikan oleh siswa (apresiasi reseptif). Pembelajaran sastra harus diarahkan pada penumbuhan kemampuan siswa dalam menilai atau mengkritik kelebihan dan kekurangan teks yang ada dan akhirnya, berdasarkan penilaian/kritik tersebut, siswa mampu membuat sebuah teks lain yang lebih bermutu, baik teks yang segenre ataupun tidak.
Barangkali ada yang menganggap apa yang tersebut di atas terlalu ideal, hanya ada dalam angan, tetapi sukar ditemukan di alam nyata. Bagaimana mungkin guru, yang pengetahuan dan kemampuan dasar kesastraannya sangat terbatas diminta untuk mengajar siswa menghasilkan kritik teks dan bahkan menghasilkan karya sastra dalam berbagai genre.
Tulisan ini ingin mengurai salah satu sisi dari berbagai macam keruwetan pembelajaran sastra di sekolah tersebut. Di antara tema-tema sastra yang menjadi salah satu simpul keruwetan itu adalah materi mengenai sastra lama dan sastra modern. Pertama, akan diurai beberapa permasalahan dalam pembelajaran sastra lama, kemudian dilanjutkan dengan gambaran tentang permasalahan dalam pembelajaran sastra modern. Pada ujung tulisan ditawarkan beberapa alternatif solusi untuk dijadikan bahasan silaturahmi pemikiran.
Problematika Pembelajaran Sastra Lama
Indonesia kaya dengan peninggalan tertulis dalam bentuk naskah. Hal ini amat berhubungan dengan tradisi tulis yang berkembang di banyak daerah karena masyarakat pendukungnya kebetulan memiliki aksara tersendiri. Kenyataan ini membuka peluang yang luas pada kita untuk memperkenalkan kearifan nenek moyang itu kepada para siswa agar mereka dapat memahami sekaligus mendapatkan manfaat dari naskah-naskah lama itu. Dengan memperkenalkan Adat Raja-raja Melayu misalnya, kita akan mendapat latar belakang serta tata cara berbagai upacara yang berhubungan dengan daur hidup raja-raja Melayu. Banyak di antara cerita itu kita jumpai dengan tema kepahlawanan, misalnya cerita-cerita yang bersumber pada dua cerita India Mahabharata dan Ramayana seperti Hikayat Pandawa Lima dan Hikayat Sri Rama. Kita juga menemukan cerita-cerita pengaruh Islam seperti Hikayat Amir Hamzah dan Hikayat Muhammad Hanafiyyah; atau dengan tema percintaan, misalnya Cerita Panji yang muncul pada abad ke-14 di Jawa. Cerita yang pada awalnya ditulis dalam bahasa Jawa tengahan ini berkembang luas dan ikut memperkaya kesusastraan di berbagai daerah di Nusantara, seperti Bali dan Melayu dan beberapa negara di Asia Tenggara. Dalam sastra Melayu lama satu versi cerita ini muncul dalam bentuk syair berjudul Syair Ken Tambuhan. Syair ini sendiri berkisah tentang percintaan dua anak raja yang penuh lika-liku sebelum pada akhirnya mencapai kebahagiaan seperti yang mereka cita-citakan. Bahkan beberapa di antara telah dikenal luas oleh kita sekarang.
Kita bersyukur peninggalan tertulis yang kaya itu masih ada sekarang dan dapat kita nikmati hingga hari ini. Hal ini bisa terjadi tentunya berkat perawatan yang baik oleh lembaga-lembaga yang memiliki perhatian kepada naskah. Namun demikian, sejauh manakah kita memberi pengetahuan dan memperkenalkan naskah-naskah (kesastraan) itu kepada para pelajar?
Tampaknya ada beberapa kendala dalam memperkenalkan cerita-cerita lama kepada peserta didik di tingkat SMU, apalagi SMP. Pertama, cerita dalam naskah-naskah itu ditulis dalam aksara Jawi atau aksara daerah lainnya. Dalam kenyatannya, sangat sedikit siswa yang memahami aksara-aksara tersebut meskipun yang bersangkutan berasal dari daerah tempat aksara itu dikembangkan. Kedua, bahasa dalam cerita-cerita lama adalah bahasa kuno sehingga tidak menarik pembaca (Ikram, 1997). Ketiga, langkanya buku-buku terbitan yang mereproduksi naskah-naskah tadi untuk dijadikan bahan bacaan. Bacaan yang terbit dan sampai pada kita tampaknya terlalu berat bagi siswa-siwi karena biasanya buku-buku itu berasal dari telaah ilmiah seperti tesis dan disertasi. Memang kita tidak dapat menutup mata terhadap usaha Pusat Bahasa untuk menerbitkan transliterasi cerita-cerita lama dalam proyek penerbitan buku lembaga ini, namun hal itu dirasakan belum cukup karena faktor distribusi yang tidak merata serta kemasannya yang sangat tidak menarik. Apabila kedua hal ini diatasi, terbuka kemungkinan guru atau sekolah untuk mendapatkan buku-buku tersebut secara lebih mudah untuk disajikan kepada siswa baik di dalam kelas maupun sebagai bahan bacaan penunjang. Keempat, kurikulum tidak memberikan peluang yang memadai bagi diajarkannya sastra lama kepada siswa. Kalaupun ada, hal itu harus diintegrasikan dengan pengajaran sastra modern. Barangkali ada sebagian siswa kita yang tertarik secara khusus pada bidang bahasa dan sastra, namun jumlah mereka sedikit sehingga banyak sekolah yang tidak tidak membuka jurusan ini. Kelima, pengajaran bahasa dan sastra di sekolah-sekolah kita agaknya semakin mengarah pada usaha untuk menunjang kemampuan siswa untuk dapat lolos dan lulus SPMB. Dengan demikian, fungsi sastra sebagai alat untuk memperhalus akal budi manusia menjadi terpinggirkan.
Problematika Pembelajaran Sastra Modern
Selain masalah yang terjadi pada pembelajaran sastra lama sebagaimana tersebut, pembelajaran sastra modern pun tak luput dari berbagai kendala dan rintangan. Apa saja masalah yang dihadapi terkait dengan pembelajaran sastra modern di sekolah akan dibicarakan berikut ini.
Budaya Indonesia sangat beragam dan itu terwujud dalam sastra-sastra daerah di seluruh nusantara. Keanekaragaman budaya yang tercermin dalam karya sastra itu hanya dapat dipahami secara nasional apabila menggunakan bahasa nasional pula. Oleh sebab itu, transformasi sastra dari bahasa daerah ke dalam bahasa Indonesia merupakan suatu keharusan. Setakat ini siswa pada setiap jenjang sekolah telah sangat mengenal cerita rakyat daerah yang sudah menasional, seperti Sangkuriang, yang bersumber dari cerita rakyat daerah Sunda, Malin Kundang, yang bersumber dari cerita rakyat daerah Minangkabau, atau Bawang Merah dan Bawang Putih yang bersumber dari cerita rakyat daerah Jawa Tengah. Namun, apabila membaca hasil penelitian yang berkenaan dengan cerita rakyat, maka betapa banyak dan beragamnya cerita rakyat nusantara itu. Cerita rakyat yang ribuan itu akan tetap menjadi khazanah budaya daerah setempat apabila kita tidak berusaha mentransformasikannya ke dalam bahasa Indonesia; padahal, khazanah sastra nusantara mesti dibaca secara luas oleh seluruh bangsa Indonesia, sehingga kita akan mengetahui juga hal-hal yang sama di antara sastra daerah yang beragam itu (Rusyana, 1981). Transformasi sastra dengan penerjemahan dari bahasa daerah ke dalam bahasa Indonesia dengan demikian merupakan upaya yang harus terus-menerus dilakukan. Usaha ke arah itu sudah dirintis, misalnya oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan Nasional atau oleh penerbit seperti Gramedia dan Yayasan Obor.
Penerjemahan sastra daerah ke dalam bahasa Indonesia yang berlangsung secara normatif, sesuai dengan kaidah penerjemahan, tidaklah akan menjadi kendala dalam proses apresiasi dan pembelajarannya di sekolah. Akan tetapi, ada fenomena lain yang muncul, yaitu karya sastra Indonesia modern yang bersumber dari cerita rakyat nusantara. Sastra Indonesia modern adalah sastra yang aslinya ditulis dalam bahasa Indonesia setelah mendapat pengaruh dari kebudayaan asing dan dicetak dengan menggunakan aksara latin (Damono, 2004). Oleh karena itu, apabila ada karya sastra Indonesia modern yang berlatar sastra nusantara tidaklah berarti terjemahan dari sastra berbahasa daerah ke dalam bahasa Indonesia. Hal itu dapat berarti respons, reaksi, bahkan tolakan atau simpangan terhadap sastra daerah yang merupakan teks dasar atau hipogramnya. Karya sastra Indonesia modern yang menggunakan latar belakang, teks dasar, atau hipogram dari karya sastra nusantara dapat dikaji dengan menggunakan pendekatan intertekstual sehingga kita dapat mengetahui, apakah cerita rakyat nusantara yang dijadikan teks dasarnya itu mendapatkan modifikasi, ekspansi, atau konversi (Riffaterre, 1978; Pudentia, 1992).
Karya sastra modern yang bersumber dari cerita rakyat telah banyak di tulis oleh sastrawan kita. Misalnya, puisi Asmaradana (dari epos Ramayana), Penangkapan Sukra (dari Babad Tanah Jawi), Dongeng Sebelum Tidur (dari cerita Anglingdarma), atau Gatoloco (dari mistik klasik Jawa) karya Goenawan Mohamad bersumber dari cerita rakyat Jawa. Cerpen dan novel Umar Kayam, Putu Wijaya, dan Y.B. Mangunwijaya banyak bersumber dari cerita wayang. Karya sastra yang demikian akan menjadi kendala dalam pembelajarannya di sekolah apabila guru tidak menggunakan pendekatan dan model yang tepat. Oleh sebab itu, perlu diupayakan satu pendekatan dan model pembelajaran yang tepat terhadap materi pembelajaran sastra yang demikian. Penemuan pendekatan dan model yang tepat akan sangat berguna, sehingga pembelajaran yang dilakukan dapat mengungkap khazanah sastra Indonesia secara global atau lintas daerah.
Satu hal yang patut diperhatikan, penelitian-penelitian yang pernah dilakukan biasanya berujung pada pengembangan ilmu sastra (teoretis). Oleh sebab itu, penelitian serupa yang berujung pada pembermaknaan pembelajaran sastra di sekolah masih merupakan lahan kosong yang memerlukan penggarapan. Apabila kondisi ini tidak beranjak, maka sudah dapat ditengarai bahwa pembelajaran sastra tidak akan sampai pada titik apresiasi yang optimal sebab transformasi sastra yang tidak normatif akan membingungkan siswa yang yang sudah mengenal hipogram karya sastra yang dibacanya. Pada usia prasekolah sebagian besar anak dibimbing langsung oleh orang tuanya. Bimbingan itu mungkin menggunakan media bahasa daerah, namun mungkin juga menggunakan bahasa Indonesia. Bimbingan berupa penanaman nilai didaktis biasanya dilakukan ibu dengan bantuan cerita rakyat (mite, legenda, atau dongeng). Kegiatan itu dilakukan, misalnya pada saat anak akan tidur atau anak bertanya mengenai fenomena alam, asal usul nama tempat atau tokoh-tokoh dalam cerita rakyat dan pewayangan. Cerita yang disampaikan orang tua tentu akan mengacu pada cerita rakyat murni yang bersumber dari tradisi lisan. Oleh sebab itu masalah akan muncul pada saat pembelajaran sastra di sekolah, siswa dihadapkan pada teks sastra, misalnya puisi Indonesia modern, yang melakukan negasi terhadap hipogram atau teks dasar.
Dalam mengapresiasi karya yang demikian, siswa tentu akan kebingungan karena karya sastra yang dihadapinya sangat jauh dari cakrawala harapan (horizon of expectation) yang ada dibenaknya. Untuk pembermaknaan pembelajaran sastra di sekolah, tampaknya harus ada penelitian yang diawali dengan pemetaan karya sastra Indonesia yang bersumber dari cerita rakyat, sehingga dapat diperoleh klasifikasi dari segi genre, media, dan hipogram dari setiap karya. Selanjutnya, berdasarkan pendekatan dan model pembelajaran yang ditemukan, perlu dilakukan penelitian lapangan di sekolah (SD, SMP, SMA) dan perguruan tinggi, sehingga diperoleh pendekatan dan model yang tepat dalam mengajarkan karya sastra modern yang berintertekstual dengan cerita rakyat.
Selanjutnya Apa?
Terlepas dari beberapa masalah di atas, beberapa cara dapat ditempuh oleh kita untuk mengajak siswa-siswi kita berkenalan dengan sastra lama. Pertama, kita dapat memperkenalkan mereka pada cerita-cerita lama yang sudah amat dikenal, seperti Mahabharata, baik melalui versi cerita popolernya semisal Arjuna Mencari Cinta atau dalam versi yang lain. Melalui itu, tercipta kemungkinan untuk menjelaskan sejarah keberadaan cerita itu dan aktifitas masyarakat zaman dulu dalam melestarikan dalam bentuk naskah. Kedua, kearifan yang terkandung di dalam cerita-cerita lama harus pula dicangkokkan dalam pengajaran sastra modern. Hal ini dilakukan karena dalam kurikulum tidak ada ruang khusus untuk sastra lama sehingga harus diintegrasikan dengan pengajaran sastra modern. Yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa keberadaan sastra modern merupakan kesinambungan dari sastra lama. Ketiga, kurikulum yang membuka peluang masuknya muatan lokal memungkinkan para guru untuk mengajak siswa berkenalan dengan cerita-cerita lama setempat. Keempat, guru dapat menugaskan siswa untuk berkenalan dengan fisik sastra lama dengan berkunjung ke perpustakaan nasional, perpustakaan daerah, museum, atau lembaga-lembaga lain yang memiliki koleksi naskah lama baik dalam bentuk kegiatan wisata maupun ekstrakurikuler lainnya. Hal ini dapat dilakukan dengan bantuan petugas lembaga-lembaga tersebut serta bimbingan para guru untuk memberi informasi mengenai pentingnya pelestarian naskah lama dan apa yang terjadi apabila benda peninggalan nenek moyang itu rusak dan musnah.
Beberapa usulan di atas barangkali perlu didiskusikan lebih lanjut karena kondisi sekolah yang berbeda-beda dan perhatian guru yang kadang terpecah oleh hal-hal lain yang lebih menyita waktu dan tenaga.
Tentang ketersediaan buku. Kendala ketiadaan buku dan bahan penunjang pembelajaran yang dikeluhkan selama ini sebenarnya dapat ditanggulangi melalui beberapa cara. Pertama, pemanfaatan media massa tercetak, seperti koran harian, mingguan, tabloid, dan majalah yang memuat karya sastra. Sekolah dapat berlangganan secara rutin koran atau majalah tertentu sesuai dengan kemampuan dana sekolah. Bila tidak memungkinkan, guru atau pihak sekolah membeli koran atau majalah tertentu pada hari, minggu, atau bulan tertentu sesuai dengan keperluan. Bila hal ini juga tidak memungkinkan, guru menugasi siswa untuk mencari secara personal atau kelompok teks sastra yang dipublikasikan di media cetak sesuai dengan topik yang diajarkan.
Cara lain yang dapat digunakan ialah pemanfaatan tradisi lisan yang masih berkembang dalam masyarakat. Dalam hal ini, guru meminta siswa untuk membuat rekaman (kaset atau tertulis) folklor sastra yang ada dalam masyarakat di sekitarnya. Hasil rekaman inilah yang dibawa dan dibicarakan di sekolah. Di samping itu, pemanfaatan media elektronik daerah dan nasional (milik pemerintah atau swasta) yang pada hari dan saat tertentu menayangkan ragam sastra tertentu untuk dinikmati oleh pemirsa. Tradisi sastra lokal, pembacaan puisi, musikalisasi puisi, drama, dan sebagainya yang ditayangkan di radio dan televisi ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan pembelajaran bagi siswa melalui pemberian tugas secara personal ataupun kelompok (Mahayana, 2007).
Ketiga, persoalan minat belajar sastra. Faktor minat belajar memang merupakan masalah lain yang sangat mempengaruhi efektivitas pencapaian tujuan pembelajaran sastra di sekolah. Masalah minat ini sangat personal sifatnya sehingga pola penanganannya pun sangat bervariasi. Namun, satu hal yang pasti, faktor penggunaan metode penyajian dan pengevalusian hasil pembelajaran sastra di sekolah erat sekali hubungannya dengan penumbuhan minat belajar pada siswa. Hasil pengamatan dan wawancara dengan rekan-rekan guru menunjukkan bahwa selama ini pembelajaran sastra cenderung bersifat teoretis. Hal ini berhubungan dengan berbagai faktor lain, termasuk faktor kemampuan guru dan fasilitas belajar. Kurikulum sebenarnya tidak menuntut pemberlakuan satu metode tertentu dalam pembelajaran sastra. Kurikulum malah memberikan kesempatan pada guru untuk menggunakan berbagai metode secara bervariasi dalam penyajian materi tertentu sehingga tujuan pembelajaran dapat dicapai. Karenanya, orientasi pada pengajaran konsep teori sastra dan sejarah sastra tampaknya sudah saatnya dikurangi. Yang lebih dipentingkan saat ini tampaknya adalah pengakraban siswa dengan karya sastra sehingga mereka menemukan keasyikan personal dalam membaca, mengkritik, dan mengkreasikan teks sastra. Metode respon-analisis, strata norma, dan pendekatan-pendekatan lain secara bervariasi sudah saatnya digunakan dalam pengkajian teks sastra di kelas. Untuk itu, guru perlu membaca buku dan media cetak lain yang menjelaskan konsep dasar dan teknik penerapan metode atau pendekatan tersebut.
Hal lain yang erat sekali hubungannya dengan penumbuhan minat pada siswa adalah penggunaan teknik evaluasi pembelajaran. Selama ini, evalusi pembelajaran sastra lebih diarahkan pada penguasaan teori dan sejarah sastra. Soal-soal buatan guru ataupun soal standar nasional belum berorientasi sepenuhnya pada evaluasi yang bersifat apresiatif. Evaluasi yang bersifat apresiatif seharusnya beranjak dari hakikat karya sastra sebagai karya yang memungkinkan timbulnya interpretasi yang beragam, yang mungkin berbeda antara satu siswa dengan siswa yang lain. Karenanya, penggunaan soal bentuk isian ataupun soal uraian tampaknya lebih tepat digunakan dalam evaluasi pembelajaran sastra. Penggunaan soal bentuk yang lain, pilihan berganda misalnya, memaksa siswa untuk memilih satu jawaban yang dianggap paling tepat oleh pembuat soal sehingga interpretasi personal siswa tidak berkembang.
Daftar Pustaka
Alpansyah. 2005. “Carut Marut Pelajaran Sastra Kita” Sriwijaya Pos, Minggu 7 Agustus.
Aminuddin. 1990. Sekitar Masalah Sastra: Beberapa Prinsip dan Model Penerapannya. Malang: Yayasan Asih Asah Asuh.
Ende, Bussairi. 2004. “Menggagas Sastrawan Masuk Sekolah” Serambi Online, Jumat 22 Juni 2007.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar