(DAPAT DIMAINKAN OLEH LELAKI MAUPUN PEREMPUAN)
SEORANG WARGA DESA TANG TANAHNYA KENA GUSUR MEMBAWA PELAKAT BERISI TULISAN DEMOKRASI.SETELAH MEMANDANG DAN PENONTON SIAP MENDENGAR ,IA BERBICARA LANGSUNG
Saya mencintai demokrasi. Tapi karena saya rakyat kecil, saya tidak kelihatan sebagai pejuang, apalagi pahlawan. Nama saya tak pernah masuk Koran. Potret saya tak jadi tontonan orang. Saya hanya berjuang dilingkungan RT gang Gugus Depan.
Di RT yang saya pimpin itu, seluruh warga pra demokrasi. Dengan beringas mereka akan berkoar kalau ada yang anti pada demokrasi. Dengan gampang saya bisa mengarahkan mereka untuk maju demi mempertahankan demokrasi. Semua kompak kalau sudah membela demokrasi.
MENGACUNGKAN PLAKATNYA.
Demokrasi!
TERDENGAR SERUAN WARGA BERSEMANGAT MENYAMBUT: DEMOKRASI!
Demokrasi!
SERUAN LEBIH HANGAT LAGI:
Demokrasi!
SERUAN GENAP GEMPITA: DEMOKRASI! IA MENURUNKAN PLAKAT
Bener kan? Hanya salahnya sedikit, tak seorang pun yang benar-benar mengerti apa arti demokrasi.
MENIRUKAN SALAH SEORANG WARGANYA.
“Pokoknya demokrasi itu bagus. Sesuatu yang layak diperjuangkan sampai titik darah penghabisan. Sesuatu yang memerlukan pengorbanan besar. Sesuatu yang menunjang suksesnya pembagunan menuju kemasyarakat yang adil dan makmur. “Kata mereka.
Saya kira itu sudah cukup. Saya sendiri tidak mampu menerangkan apa arti demokrasi. Saya tidak terlatih untuk menjadi juru penerang. Saya khawatir kalau batasan-batasan saya tentang demokrasi akan disalahgunakan. Apalagi kalau sampai terjadi perbedaan tafsir yang dapat menjadikannya kemudian bertolak belakang. Atau mungkin, karena saya sendiri tidak benar-benar tahu apa arti kata demokrasi.
Pada suatu kali, Rt kami yang membentang sepanjang gang Gugus Depan dapat kunjungan petugas yang mengaku dating dari kelurahan. Pasalnya akan diadakan pelebaran jalan, sehingga setiap rumah akan dicabik dua meter. Petugas itu menghimbau, agar kami, seperti juga warga lain, merelakan kehilangan itu, demi kepentingan bersama.
MENIRUKAN PETUGAS
“ Walaupun hanya dua meter, tapi sumbangan saudara-saudara sangat penting artinya bagi pembangunan dan kepentingan kita bersama di masa yang akan datang. Atas nama kemanusiaan kami harap saudara-saudara mengerti.”
NAMPAK BINGUNG
Warga kami tercengang. Hanya dua meter? Kok enak saja mengambil dua meter, demi pembangunan siapa? Bagaimana kalau rumah kami hanya enam meter kali empat. Kalau diambil dua meter kali enam, rumah hanya akan cukup untuk gang. Kontan kami tolak. Bagaimana bisa hidup dalam gang dengan rata-rata 5 orang anak?
Tidak bisa itu tidak mungkin!
“Tapi ini sudah merupakan keputusan bersama,” kata petugas tersebut.
Kami makin tercengang saja. Bagaimana mungkin membuat keputusan bersama tentang kami, tanpa rembukan dengan kami. Seperti raja Nero saja.
“Soalnya masyarakat disebelah sana,” lanjut petugas itu sambil menunjuk ke kampong disebelah,” mereka semua adalah karyawan yang aktif pabrik tekstil. Semua memerlukan jalan tembus yang bisa dilalui oleh kendaraan. Dengan difungsikannya gang Gugus Depan ini menjadi jalan yang tembus kendaraan bermotor , mobilitas warga yang hendak masuk pekerjaan atau pulang akan lebih cepat. Itu berarti efisiensi dan efektifitas kerja. Mikrolet dan bajaj akan bisa masuk. Itu akan merupakan sumbangan pada pembangunan. Dan pembangunan itu akan dinikmati juga oleh kampong disebelahnya, karena sudah diperhitungkan masak-masak.”
Diperhitungkan masak-masak bagaimana? Kami tidak pernah ditanya apa-apa? Tanah ini milik kami, bantah saya.
Tak lama kemudian, sejumlah warga dari kiri kanan kami datang. Mereka menghimbau agar kami mengerti persoalan mereka. Mereka mengatakan dengan sedikit pengorbanan itu, ratusan kepala keluarga dari kiri kanan kami akan terlolong. Mereka menggambarkannya sebagai perbuatan yang mulia. Setelah menghimbau mereka mengingatkan sekali lagi, betapa pentingnya pelebaran jalan itu. Setelah itu mereka mengisyaratkan betapa tak monolgnya kalau kami tidak menyetujui usul itu. Dan setelah itu mereka mewantu-wanti, kalau tidak bisa dikatakan mengancam.
MENIRUKAN WARGA KAMPUNG SEBELAH
Kalau saudara-saudara menghambat , menghalang-halangi atau berbuat yang tidak-tidak sehingga pelebaran jalan itu tak dilaksanakan,sesuatu yang buruk akan terjadi.
NAMPAK MAKIN BINGUNG
Berbuat yang tidak-tidak apa? Tidak-tidak apa? Kami terjepit diantara kepentingan orang banyak. Belum lagi kami sempat bikin rapat untuk melakukan perundingan ,pelebaran jalan itu sudah dilaksanakan.
TERDENGAR SUARA MESIN MENGERAM .
Tanpa minta ijin lagi, sebuah bulldozer muncul dan menggaruk dua meter wilayah RT kami. Warga kami panic. Jangan!Jangan! Ini tanah kami. Sejak nenek-moyang kami ada disini. Dulu kakek-kakek kami tanahnya lebar,tiap orang punya tegalan dan dua taiga rumah,tapi semua itu sudah dibagi-bagi anak cucu,ada yang sudah dijual. Tapi ini tanah warisan.
Buldozer iu tidak peduli. Mereka terus juang menggaruk. Jangan pak!Jangan! Kalau Bapak ambil dua meter rumah kami tinggal kandang ayam. Kami tidak mau kampung kami dijadikan jalan. Nanti kemana anak-anak kami akan berteduh?
Jangan-jangan pak kami belum selesai berunding !Kami tidak pernah bilang setuju!Diganti berapapun kami tidak akan mau. Ini harta kami satu-satunya sekarang!
Jangan pak!
Tapi bulldozer itu terus juga menyeruduk dengan buas. Sopirnya tidak peduli. Dia hanya menjalankan tugas. Akhirnya kami tidak bisa diam saja. Kami semua terpaksa melawan. Saya tidak bisa mencegah warga rame-rame keluar dari rumah. Mereka berdiri didepan bulldozer itu.
Ini tanah kami,akan kam pertahankan mati-matian. Dibeli ratusan juta juga kami tidak sudi,sebab kami tidak mau pindah dari tempat nenek moyang kami. Anak-anak dan perempuan kami pasang didepan ,sesudah itu orang-orangtua ,lalu saya dan bapak-bapaknya.
Baru bulldozer itu berhenti.
SUARA MESIN BERHENTI.SENYAP..
Sopir yang menjalankan bulldozer itu ngeper juga melihat kami. Dia turun dari kendaraan dan berunding dengan teman-temannya. Kami menunggu apa yang akan terjadi. Lama juga mereka berunding.Beberapa anak main-main mendekati bulldozer itu dan megang-megangnya. Kendaran itu kuat,baru dan bagus. Beberapa ibu-ibu duduk dijalan meneteki anak-anaknya. Saya sendiri mengambil kesempatan kencing karena terlalu tegang.
Akhirnya mereka selesai berunding. Sopir itu kembali naik keatas bulldozermya. Dia tersenyum. Kami semua merasa lega. Mereka pasti baru menyadari mereka sudah salah. Mesin dihidupkan kembali.
KEMBALI SUARA MENGERAM
Kami menunggu dengan deg-degan. Waktu itu sebuah mobil colt datang. Sekitar sepuluh orang laki-laki meloncat turun dengan memakai pakaian seragam. Kami bersorak, melihat akhirnya aparat datang untuk melindungi rakyat. Tapi berbareng dengan itu bulldozer itu menerjang kembali kedepan menggaruk tanah. Perempuan-perempuan menjerit. Beberapa anak jatuh ,salah seorang diantaranya kena garuk. Untung ada yang meloncat naik dan menarik anak itu. Keadaan menjadi kacau.
Orang-orang berseragam itu berlarian datang. Ternyata mereka bukan petugas,tetapi satpam yang mau mengamankan penggarukan. Mereka membawa pentungan yang sudah siap untuk memukul. Kami jadi seperti kucing yang kepepet. Tanpa diberi komando lagi,kami melawan.
Anak-anak mengambil batu dan melempar. Asep ,bapak anak yang hampir kena garuk bulldozer meloncat keatas bulldozer mau menarik sopirnya. Tapi tiba-tiba sopir bulldozer itu menghunus parang yang disembunyikanya dibawah tempat duduk,langsung membacok pundak Asep.
Asep tumbang berlumuran darah .Perempuan-perempuan dan anak-amak menjerit, lalu kabur menyelamatkan diri. Kami para lelaki hampir saja mau menyerang,tapi kemudian sebuah truk datang. Puluhan orang yang kelihatan ganas-ganas melompat turun dan menerjang kami sambil membawa senjata tajam. Saya kenal salah satu diantaranya bajingan diproyek Senen.
Kami terpaksa mundur.Saya melarikan Asep kerumah sakit. Untung saja tidak lewat. Barang kali pembacoknya memang tidak berniat membunuh,hanya kasih peringatan.
MELETAKAN PLAKAT.LALU MEMBUKA PAKAIANYA,SALIN.
Saya bingung.Akhirnya setelah putar otak,saya beranikan diri mengunjungi direktur pabrik tekstil,majikan warga yang mengiginkan jalan pintas itu. Saya memakai batik(kebaya dan jarik kalau pemainya perempuan supaya kelihatan resmi dan sedikit dipandang.
MEMAKAI BATIK/ JARIK
Tapi susah sekali. Orangnya selalu tidak di tempat. Baru setelah mengaku petugas kelurahan,akhirnya saya diterima.
Direktur itu kaget setelah mengetahui saya bukan petugas kelurahan tapi korban penggusuran.Tetapi ia cepat tersenyum ramah,lalu mengguncang tangan saya.Begitu saya semprot bahwa kami tidak sudi dipangkas,dia bingung. Kepalanya geleng-geleng seperti tak percaya. Lalu ia memangil sekretaris. Setelah berunding bisik-bisik, ia kembali memandangi saya seperti orang stress.
MENIRUKAN DIREKTUR PABRIK TEKSTIL YANG DIALEKNYA RADA CADEL/ASING
“Tuhan Maha Besar, saya tidak tahu ini. Saya minta maaf. Saya tidak memperbolehkan siapa saja membuat tindakan-tindakan pribadi atas nama perusahaan. Para karyawan sudah diberi uang transport. Kalau mereka memerlukan jalan pintas, mungkin karena mereka ingin menyelamatkan uang transport itu. Itu diluar tanggung jawab perusahaan. Pembuatan jalan itu bukan inisiatif dan bukan tanggungjawab kami. Saya minta maaf. Saya mohon menyampaikan rasa maaf saya kepada seluruh warga,”katanya dengan sungguh-sungguh.
Saya mulai senewen. Saya tak percaya apa yang dikatakanya. Ini sandiwara apa lagi. Saya bukan orang bodoh, saya tidak mau dikibuli mentah-mentah begitu. Saya tahu dia hanya pura-pura. Mulutya yang manis tingkah lakunya yang sopan itu tidak bisa mengelabuhi saya. Saya bisa mengendus apa yang bisa disembunyikan di balik topengnya itu. Orang kaya raya itu begitu, berpendidikan tinggi, luas pandangannya, pasti tau apa sebenarnya yang terjadi. Tidak mungkin dia tidak paham apa artiya dua meter tanah buat kami, meskipun bagi dia 2000 hektar itu hanya seperti upil. Orang yang pasti sudah bolak-balik keluar negeri itu masak tidak tau, kami, paling sedikit saya ini tau, bukannya para karyawannya itu yang serakah mau menyelamatkan uang makan, tapi dia sendiri yang memang mau mencaplok pemukiman kami. Nanti lihat saja, kalau jalan sudah dibuat, uang makan akan di setop, karyawannya akan disuruh jalan kaki datang. Tai kucing. Rai gedek! Sudah konglomerat begitu,menyelamatkan uang receh saja pakai menyembelih rakyat.
Aku tahu! Aku tahu! Tak kasih tahu warga semuanya apa yang sudah terjadi. Aku adukan nanti kepada jaksa agung! Beliau itu dulu waktu masih miskin sering mampir di warung saya! Biar orang semacam ini ditindak. Asu! (MENYUMPAH-NYUMPAH KOTOR DALAM BAHASA DAERAH)
DIA MENYABARKAN DIRINYA, KARENA KATA-KATANYA SEPERTI SUDAH TAK TERKENDALI.
Betul.Orang kecil seperti saya ini memang kelihatanya lemah dan gampang ditipu.Karena kami sadar pada dari kami sehingga kami selalu menahan diri. Tapi kalau sudah kami kebangeten seperti ini saya meledak juga. Semut pun kalo di injak terus akan menggigit.
Karena terlalu marah, saya tidak bisa ngomong lagi. Muka saya saja yang kelihatan merah. Saya siap untuk meledak. Dia semakin ramah, semakin halus bicaranya. Saya di perlakukan sebagai tamu terhormat. Tapi saya terus maju. Ini perjuangan.
Dia menyuguhkan makanan dan minuman. Saya tolak. Saya datang bukan untuk bertamu atau ramah-tamah. Saya membawa suara rakyat, menurut keadilan. Keadilan untuk kami saja.
Kami tidak minta apa-apa. Kami hanya minta tanah kami yang hanya 2 meter itu jangan di ganggu. Itu hak kami! Titik.
Di atas maja dihidangkan kue-kue yang lezat. Hhhh! Tapi saya tidak sudi menjamah sebelum tuntutan kami didengarkan. Dia mencoba bertanya tentang keluarga saya, anak saya kelas berapa. Ah itu kuno. Saya tahu itu taktik untuk memancing pengertian.
Dia juga berbasa-basi menanyakan bagaimana keadaan Asep. Lho saya tadi tambah curiga. Jadi dia tahu sekali apa yang terjadi. Mungkin dia yang menyuruh sopir itu untuk membacok Asep. Karena Asep juga pernah memprotes pembuangan limbah dari pabrik yan gmengalir ke selokan di depan rumah kami.
Saya bertekad, saya tidak akan keluar dari kantor ini sebelum ada keputusan membatalkan 2 meter tanah kami untuk jalan. Saya ditunggu oleh warga.
Saya mau pergikalau ada keputusan yang menguntungkan rakyat kecil.
Akhirnya dia menganguk, tanda dia mengerti. Kemudian dia menunduk dan membuka laci mejanya mengambil kertas. Saya bersorak dalam hati. Akhirnya memang kunci segal-galanya pada kegigihan. Kalau kita getol berjuang pasti akan berhasil.
Tetapi kemudian darah saya tersirap, karena direktur itu mengulurkjan kepada saya sebuah amplop coklat yang tebal. Saya langsung tak mampu ber nafas.
DARI ATAS JATUH SEBUAH AMPLOP RAKSASA BERISI TULISAN RP 25.000.000. DUA PULUH LIMA JUTA RUPIAH. TULISAN MELAYANG SETINGGI DADA DI DEPANNYA. IA GEMETAR.
Tebal, coklat, apalagi diatas amplop itu tertera 25.000.000. Dua puluh lima juta. Ya Tuhan banyaknya. Saya belum pernah memegang uang sebanyak ini. Dua puluh lima juta?
MENGHAMPIRI AMPLOP, MENYENTUH DENGAN GEMETAR, TAK PERCAYA, RAGU-RAGU, GEMBIRA, KEMUDIAN MEMEGANGNYA.
Dua puluh lima juta. Dua puluh lima kali hidup jugasaya tidak akan sanggup mengumpulkan uang sebanyak ini. Ya Tuhan alangkah miskinnya saya. Mengapa saya tiba-tiba dihujani rizki sebanyak ini.
MEMELUK AMPLOP ITU. MENGANGKATNYA. MENJUNJUNGNYA. MEMBAWANYA KESANA KEMAI, MEMELUKNYA SEPERTI KUCING YANG BERMAIN-MAIN DIATAS KERTAS, IA TERLENTANG, TENGKUREP DI ATAS UANG ITU SAMBIL MENCIUM-CIUMNYA. KEMUDIAN DIA MASUK KEDALAM AMPLOP, SEPERTI ANJING YANG MENGOREK-OREK TONG SAMPAH DENGAN BERNAFSU DAN NGOS-NGOSAN. AKHIRNYA IA MENGGULUNG DIRINYA DENGAN AMPLOP UANG ITU.
Dua puluh lima juta. Apa yang tidak bisa dibeli dengan uang sebanyak ini. Alhamdulillah saya bisa perbaiki rumah. Kredit motor, jadi tukang ojek. Bayar SPP. Saya bisa kirim uang sama orang tua.
Puji syukur Tuhan, akhirnya Kau kabulkan doa kami setiap malam, supaya kami bisa mengubah nasib, jangan terus terjapit di tempat kumuh ini seperti kecoak.
MENAGIS KARENA GEMBIRA DAN TIDAK PERCAYA. KEMUDIAN DIA BERDIRI KEMBALI DAN MEMELUK AMPLOP BESAR ITU, SAMA SEKALI TAK MAU MELEPASKANNYA.
Saya gemetar. Saya tak menanyakan lagi berapa isi amplop itu. Untuk apa 25 juta itu. Saya tidak perlu lagi menanyakannya. Saya hanya menerimanya, lalu menyambut uluaean tangannya. Lantas terbirit-birit pulang. Takut kalau amplop itu ditarik lagi. Saya ambil jalan belakang, sehingga tak seorang warga pun tahu saya barusan datang dari rumah direktur.
Sya kumpulkan keluarga saya dan jelaskan kepada mereka. Bahwa sejak hari itu hidup kami akan berubah. Doa kita sudah di kabulkan.
MELEPASKAN KEMBALI AMPLOP. AMPLOP BESAR NAIK KENBALI,
MELAYANG DIATAS KEPALANYA.
Esok harinya ketika para warga gang Gugus Depan kembali mendatangi saya untuk mendengarkan hasil rembukan saya dengan Pak Direktur untuk selanjutnya menetapkan tindakan apa selanjutnya yang harus dilakukan, saya memberi wejangan.
Saudara-saudara warga semuanya yang saya cintai. Memang berat kehilangan 2 meter dari milik kita yang sedikit. Berat sekali, bahkan terlalu berat. Tetapi itu lebih baik daripada kita kehilangan nyawa. Lagipula semua itu untuk kepentingan bersama. Kita semua mendukung demorasi dan sudah bertekad untuk mengorbankan apa saja demi tegaknya demokrasi. Di dalam demokrasi suara terbanyak yang harus menang. Maka sebagai pembela demokrasi, kita tidak boleh donkol karena kalah. Itu konsekuensinya mencintai demokrasi. Demi demokrasi kita harus merelakan 2 meter untuk pembuatan jalan yang menunjang pembangunan ini. Demi masa depan kita yang lebih baik.
Seluruh warga yang saya pimpin tak menjawab. Seperti saya katakan, mereka semuanya pembela demokrasi. Kalau atas nama demokrasi, mereka relakan sega-galanya. Satu per satu kemudian mereka pulang.
He tunggu dulu, saya belum selesai bicara!
Kuping mereka buntet. Tanpa peduli rapat belum rampung, semuanya pergi.
Tunggu! Tunggu!
Tak ada yang menggubris. Semuanya ngacir. Tinggal saya sendiri dan seorang tua. Tapi dia tidak pergi bukan karena suka tapi karena kakinya kesemutan. Setelah reda dia juga berdiri dan pergi sambil ngedumel.
“Kalau memang demokrasi itu tidak melindungi kepentingan rakyat kecil, aku berhenti menyokong demokrasi. Sekarang aku menentang demokrasi.
TERDENGAR SUARA SORAK DAN YEL-YEL YANG TIDAK JELAS.
SEPERTI ADA KERIBUTAN. LALU SUARA TEMBAKAN. BARU SEPI KEMBALI.
Sejak itu semunya benci pada demokrasi. Sejak hari itu, warga RT Gugus Depan yang saya pimpin kompak menolak demokrasi. Hanya tinggal ssaya sendiri, yang tetap berdiri disini. Teguh dan tegar. Tidak goyah oleh topan badai. Tidak gentar oleh panas dan hujan. Saya tetap kukuh tegak di atas kaki saya, apa pun yang terjadi siap mempertahankan demokrasi, sampai titik darah penghabisan.
Habis mau apalagi. Siapa lagi kalau bukan saya?
Daripada diberikan pada orang lain?
DENGAN SUARA YANG GEMURUH AMPLOP BESAR ITU JATUH MENIMPA, DIIKUTI OLEH BANYAK AMPLOP LAIN YANG LEBIH BESAR, SEHINGGA IA JATUH DAN TERTIMBUN OLEH AMPLOP.
LAMPU MEREDUP DAN PADAM
Sunter Mas 12-12-1994, Astya Puri 28-02-2006
1 komentar:
monolog ini juga di pakai sebagai salah satu pilihan dalam lomba monolog PEKAN SENI MAHASISWA NASIONAL di PONTIANAK tahun 2010
Posting Komentar