Penulis besar, pecinta kaum Papa nama lengkapnya adalah Lyev Nikolayevich Tolstoy, lahir di Yasnaya, Tula, Rusia tanggal 28 Agustus 1828 dari sebuah keluarga ningrat. Sejak umur 9 th orang tuanya meninggal sehingga ia dibesarkan dalam asuhan bibinya. Meskipun berasal dari keluarga ningrat, Tolstoy tidak menjadi angkuh dan ingin dihormati, justru sebaliknya ia dikenal sebagai filsuf moral dan reformator sosial.
Pada saat itu sedang terjadi tekanan revolusi sosial, dimana orang kaya dari kelompok ningrat hidup dalam kemewahan dan pesta pora. Sementara kaum petani dan lainnya yang miskin hidup dalam kesengsaraan.
Umur 16, Tolstoy kuliah di Univ. of Kazan, untuk belajar bahasa dan hukum, namun karena bosan ia keluar dari sekolah itu. Meski demikian, latar belakang pendidikan hukum membuat Tolstoy mengerti praktek- praktek kehidupan yang menyimpang. Kaum ningrat, bangsawan kaya yang hidup dalam kemewahan, ternyata tidak selamanya memperoleh semua kekayaan itu dengan cara yang benar.
Tolstoy masuk ketentaraan pada tahun 1851 dengan menggabungkan diri pada tentara Kaukasia dan ikut dalam perang Krim. Dia keluar dari ketentaraan pada 1855 utk kemudian mengembangkan kemampuannya di bidang sastra di St. Petersburg. Melalui minat dan bakatnya yang besar dalam penulisan, Tolstoy menyampaikan keluhan-keluhan kaum tertindas dalam karya-karyanya yang luar biasa. Dalam tulisannya nampak nyata ungkapan-ungkapannya mengenai prinsip kekristenan secara mendalam. Novel pertamanya yang berbentuk autobiografi yaitu "Childhood, Boyhood, dan Youth" menceritakan tentang anak seorang tuan tanah kaya yang perlahan menyadari perbedaan antara dirinya dengan teman-temannya yang berasal dari golongan petani.
Keturunan ningrat yang cinta orang papa ini juga rela hidup di tengah kaum petani itu. Walau sistem perbudakan masih berlaku dimana-mana, termasuk Rusia. Namun Tolstoy rela membebaskan orang yang bisa ia jadikan sapi perah demi kasihnya pada semua orang. Anehnya, para budak yang ia bebaskan itu justru tetap tinggal dengan tuannya yang baik hati ini. Dalam ladang pertaniannya yang luas, kelompok orang -orang ini hidup bersama dengan cara swadaya. Ia pun lalu membentuk sekolah utk anak-anak petani di daerahnya. Ketika sekolah ini akhirnya berhenti, ia lalu berkeliling ke Eropa barat dan dari pengembaraannya itu, hatinya dipenuhi rasa muak atas peradaban barat dan materialisme dalam kehidupan masyarakat borjuis Eropa. Seluruh pengalamannya itu dituangkan dalam karyanya yang bernada getir, yaitu 'Luzern' (1857).
Th 1862 Tolstoy menikahi Sophia Andreyevna Bers, seorang gadis muda terpelajar dan memberinya 13 anak. Pernikahannya tidak bahagia, karena keterus-terangannya dan perbedaan konsep tentang tugas isteri. Selama awal perkawinan ini ia menulis The Cossacks dan mahakaryanya War and Peace (1862-69) yaitu sebuah novel sejarah tebal (lebih dari 1500 halaman, mencakup 580 karakter, baik nyata atau fiksi) yg menggambarkan kejadian pada masa pendudukan Napoleon dan kekaisaran Russia pada PD I th 1812. Novel itu sekaligus membuktikan bahwa Tolstoy adalah juga seorang ahli sejarah hebat yg dapat melihat sisi-sisi dari sejarah yg tak disadari org lain. Sementara pd tahun 1867 ia menulis Anna Karenina, novel yg menjadi karyanya yg paling dikenal orang, bercerita tentang tragedi kehidupan cinta seorang wanita yg terjebak antara kondisi masyarakat yang miskin dan filosofi kebangsawanannya (mirip dengan kisah Tolstoy sendiri. Meski War and Peace sering disebut sebagai novel hebat, Tolstoy hanya menganggap Anna Kareninalah yang benar-benar novel, karena sebagai sastrawan realis, ia menganggap bahwa sebuah novel harus dapat berfungsi sebagai potret refleksi kenyataan yang terjadi pada kehidupan sosial dan politik masyarakat secara luas, bukan hanya satu golongan saja.
Pada usia 50 tahun, Tolstoy yang sejak muda banyak bergumul dengan pertanyaan -pertanyaan seputar hidup dan masyarakat sekitarnya, ditambah dengan krisis paruh baya dan depresi yang dialaminya akhirnya menemukan jawaban dalam kekristenan. Dia melihat ajaran kasih dan terutama ajaran mengenai khotbah di bukit serta ajaran "jika kau ditampar pipi kananmu berikan pipi kirimu" sesuai dengan semangat dan pandangan hidup pasifisme (anti kekerasan) yang ia pegangsetelah melihat dan merasakan sendiri kekejaman perang. Tolstoy juga dikenal sebagai seorang anarkis (dlm hal ketidak setujuannya pd sistem yg otoritarian / pemaksaan kehendak, termasuk jika praktek tersebut terjadi di negara dan gereja), ia memiliki pandangan tersendiri mengenai kekristenan, ia percaya jika orang Kristen harus dapat melihat ke dalam hati dan dirinya sendiri untuk menemukan kebahagiaan diri dan bukan hanya bergantung pada gereja atau penguasa saja (pandangan "Kerajaan Allah ada di dalammu"), dia juga menganggap aristokrasi/kebangsawanan adalah beban bagi rakyat miskin dan menentang adanya kepemilikan pribadi. Ide-idenya tsb lah yang sering membawa konflik antara dirinya dengan pihak pemerintah dan gereja ortodoks di Rusia. Di masa depan, pemikiran tentang perjuangan anti kekerasan melawan penindasan ini juga banyak mempengaruhi tokoh2 spt Mahatma Gandhi (yg memang sempat mengadakan hubungan korespondensi dengannya), Martin Luther King Jr dll.
Setelah menjadi Kristen, karya-karya Tolstoy lebih banyak bernuansa religius seperti Confession (1879) yg berisi pengalaman pertobatannya. Selain juga A Short Exposition of the Gospels (1881),
What I Believe In (1882), What Then Must We Do? (1886), The Law of Love and the Law of Violence (1908), novel Hadji Murad (1896-1904), novella The Death of Ivan Ilyich (1884), Resurrection (1899-1900), drama The Living Corpse (terbit 1911), selain juga essay What is Art yg menulis tentang tanggung jawab seorang seniman untuk membuat karyanya dapat dipahami oleh banyak orang, yang sehingga seorang seniman juga harus membaur dan tdk hidup di menara gading yang eksklusif dan angkuh. Tolstoy juga banyak berkhotbah, isi khotbahnya banyak berkisar tentang ajaran anti kekerasan dan kesederhanaan hidup.
Di masa tuanya, karena ketidak harmonisan rumah tangganya, terutama dengan isterinya dan 12 anaknya (kecuali si anak bungsu, Alexandra) yg tdk sepaham dengan pola hidup yg tdk mengutamakan materi yg ia anut, membuat pada th 1910, di usia 83 tahun, Tolstoy dan Alexandra meninggalkan rumah dan naik kereta tanpa tujuan jelas, dan dalam perjalanan itulah, di sebuah stasiun di Astapovo, Tolstoy meninggal karena kedinginan. Pada waktu pemakamannya, ribuan petani memadati jalan untuk mengantarnya.
Pengikut Tolstoy berkembang di Russia dan luar negeri sampai kini, dan kota kelahirannya banyak diziarahi. Begitu besar pengaruhnya, membuat bahkan pemerintah komunis pada zaman Uni Soviet tetap membiarkan aktivitas mereka, namun meski demikian, gereja Russia tetap memusuhinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar